Oleh Vicky Rifai Adriansyah¹
Independen women atau perempuan mandiri saat ini menjadi trend dan menjadi perbincangan orang banyak bahkan khususnya oleh perempuan itu sendiri. Independen women ini adalah sebuah kondisi dimana perempuan tidak bergantung pada ‘siapa pun’ atau mandiri dalam mengerjakan setiap hal.
Trend yang berkembang saat ini mengenai independen women masih berkonotasi ekonomi artinya perempuan yang independen adalah perempuan yang memiliki pendapatannya sendiri. Namun jika ditelaah lebih jauh independen women adalah kondisi dimana perempuan tidak hanya mandiri dalam segi ekonomi tetapi juga dari sosial budaya mereka.
Independen women adalah hasil dari pergerakan wanita selama ini. Perempuan yang dahulu dibatasi pergerakan dan pilihannya dalam hidup, saat ini sudah tidak begitu. Perempuan memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Perempuan tidak digariskan hanya untuk mengurusi rumah dan urusan domestik lainnya.
Tetapi, perempuan sekarang bisa mengerjakan urusan – urusan profesional. Ini adalah kondisi yang baik bagi perempuan dimana mereka berubah dan memiliki status sosial yang hampir setara dengan laki – laki.
Namun bagaimana dengan nasib anak – anak kita di masa depan? Jauh berkaca ke belakang yaitu pada tahun 1937, Cora Alice Du Bois seorang Antropolog Amerika yang memutuskan untuk melakukan penelitian di desa kecil Nusa Tenggara Timur, tepatnya pada orang – orang suku Alor.
Cora Alice Du Bois melakukan penelitian etnografi selama dua tahun yang kelak menghasilkan sebuah buku berjudul ‘the people of Alor’ yang diterbitkan satu tahun sebelum deklarasi kemerdekaan Indonesia yaitu pada tahun 1944.
Buku ini secara garis besar membahas tentang cara hidup orang – orang di Desa Alor, NTT tadi. Salah satu hal yang menarik dari buku ini adalah tentang bagaimana perempuan Alor hidup dan anak – anak Alor tumbuh.
Perempuan di desa Alor merupakan perempuan yang bekerja di ladang mereka. Ladang – ladang biasanya berjarak tidak jauh dari rumah pemilik. Perempuan Alor menghabiskan sepanjang waktunya untuk mengurusi tanaman mereka di ladang. Jika mereka tidak merawat tanaman dengan serius maka tanaman itu bisa saja mati karena hama.
Oleh karena itu hampir sepanjang hari perempuan Alor merawat tanaman mereka hingga berganti hari dan seterusnya. Kebiasaan ini dilakukan oleh perempuan Alor yang sudah menikah ataupun bagi mereka yang belum. Terlebih lagi kebiasaan ini juga dilakukan oleh perempuan Alor yang sudah memiliki anak. Ibu di Alor lebih memberikan fokus lebih pada ladang mereka dibanding ke anaknya.
Cora Alice Du Bois menemukan keunikan ini di pulau Alor. Ia mengambil sampel gambar juga profil anak – anak di pulau Alor. Rekaman ini selanjutnya dikirim ke spesialis psikologis di New York pada saat itu. Hasilnya mengejutkan. Ternyata, cara hidup ibu di Alor sangat berdampak pada tumbuh kembang anak khususnya dalam psikologis anak.
Anak – anak di pulau Alor cenderung memiliki sifat apatis, acuh tak acuh dan memiliki cara berpikir yang dangkal. Keadaan ini dinilai oleh Du Bois merupakan hasil dari kelalaian ibu di pulau Alor dalam merawat anak – anak mereka.
Kurangnya perhatian ibu kepada anak – anak di pulau Alor karena harus merawat ladang menyebabkan tumbuh kembang anak dalam segi emosional kurang terpenuhi sehingga mereka memiliki sifat – sifat seperti itu.
Penelitian tentang cara hidup perempuan Alor yang dilakukan oleh Du Bois sangat menggambarkan kondisi saat ini yaitu Independen women. Perempuan bahkan para ibu yang lebih memilih untuk meneruskan karir pekerjaannya, tidak mustahil akan lalai dalam memperhatikan tumbuh kembang anaknya.
Banyak diantaranya menyerahkan anaknya pada pihak lain, mungkin asisten rumah tangga atau kerabat terdekat. Kondisi ini memang tidak salah, mengingat bahwa masih banyak cara untuk menumbuh kembangkan anak di era sekarang. Tetapi perlu diingat bahwa masa depan anak – anak pun bisa terengut oleh pembiaran pengasuhan oleh orang lain.
Pada akhirnya, ternyata trend independen women bukanlah yang pertama kalinya terjadi di dunia ini. Kita perlu belajar dari apa yang sudah terjadi pada waktu lampau untuk menghindari konsekuensi buruk yang mungkin bisa terjadi di masa depan.
Pergerakan dan perjuangan untuk menjadikan perempuan setara dengan laki – laki adalah perjuangan yang sangat mulia. Memang dahulu perempuan sangat dipandang sebelah mata oleh laki – laki yang pada akhirnya mereka direndahkan. Tetapi saat ini perjuangan perempuan apalagi keluarga sudah semakin sulit.
Kita dihadapkan oleh kemajuan zaman yang serba cepat dan pertumbuhan anak sangat rentan untuk belok ke nilai – nilai yang kurang sesuai. Kita harus mulai menyadari bahwa menumbuh kembangkan anak adalah usaha kita bersama.
¹Penulis adalah mahasiswa S1 Prodi Antropologi Sosial FISIP USU