Oleh: Mairani Brigita Kristine
Kematian Prada Lucky Chepril Saputra Namo membuka luka lama yang belum sembuh. Seorang prajurit muda, baru dua bulan bertugas, datang dengan harapan sederhana: belajar, bertugas, dan membanggakan keluarga. Nyawanya justru terhenti dengan cara yang kejam, tubuh penuh lebam, luka, dan trauma yang tak sempat diceritakan.
Kekerasan yang diklaim sebagai “pembinaan” justru mematahkan martabat manusia. Lucky tak gugur di medan perang, melainkan di tangan mereka yang seharusnya membimbingnya.
Publik sempat berharap keadilan ditegakkan ketika Polisi Militer menetapkan 20 tersangka, termasuk seorang perwira. Namun, beberapa pelaku hanya dijatuhi hukuman enam bulan penjara. Enam bulan?
Sulit diterima akal sehat jika dibandingkan dengan duka yang harus ditanggung keluarga Lucky seumur hidup. Jika ini ukuran keadilan, apa arti nyawa seorang prajurit?
Ironi terbesar adalah ketika TNI AD menyebut ini “pembinaan yang melampaui batas.” Namun saat batas itu merenggut nyawa, hukumannya justru ringan. Kekerasan berlapis, dilakukan berulang, oleh sejumlah prajurit yang sadar menyakiti juniornya, hanya dihukum sebentar. Bukankah ini jelas kriminalitas serius?
Kritik publik semakin tajam karena proses hukum berlangsung di pengadilan militer, yang minim pengawasan eksternal. Ketertutupan ini menimbulkan pertanyaan: apakah transparansi hanya slogan? Jika sistem sendiri gagal melindungi prajurit, bagaimana kita bisa percaya pada keadilan yang dijanjikan?
Yang paling menyedihkan, tragedi seperti ini terus berulang. Junior dianiaya, keluarga berduka, pelaku dihukum ringan, institusi berjanji mengevaluasi, lalu semuanya terlupakan. Kekerasan internal bukan disiplin, tetapi penyakit yang dibiarkan karena budaya senioritas dan ketakutan melapor.
Negara meminta para pemuda menyerahkan hidupnya untuk bela negara. Tetapi apakah negara membalas dengan perlindungan setimpal?
Kasus Lucky menunjukkan jawabannya pahit: keadilan hanya setipis kertas. Reformasi pembinaan militer bukan sekadar urgensi, tetapi kewajiban moral. Sistem yang membiarkan kekerasan dan menghukum kematian dengan enam bulan penjara gagal melindungi manusia.
Keadilan sejati bukan hanya menghukum pelaku, tetapi membongkar budaya kekerasan, memperkuat pengawasan, dan memastikan pembinaan militer tidak lagi mencederai prajurit muda. Lucky hanyalah satu nama, namun ia mewakili ribuan prajurit yang takut bersuara. Jika kita membiarkan ini berlalu, kita kehilangan bukan hanya prajurit, tetapi martabat bangsa.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi