Oleh: Vaneza Andriani Pio
Media sosial kembali menjadi ruang ekspresi kegelisahan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kali ini, perbincangan ramai dipicu oleh perbandingan dua kasus hukum yang dinilai mencerminkan ketimpangan perlakuan. Seorang warga kecil disebut diproses cepat hingga dijatuhi hukuman, sementara perkara lain yang melibatkan pihak dengan posisi sosial lebih kuat justru berjalan lambat dan tak kunjung menemui kepastian.
Perbincangan ini bermula dari unggahan warganet yang menyandingkan dua kasus berbeda. Dalam unggahan tersebut, proses hukum terhadap warga dari kalangan ekonomi lemah digambarkan berlangsung singkat dan tegas. Sebaliknya, kasus lain yang menyeret pihak berpengaruh disebut berlarut-larut tanpa kejelasan arah. Unggahan ini menyebar luas dan mengundang ribuan komentar yang mempertanyakan konsistensi aparat penegak hukum.
Reaksi warganet menunjukkan satu keresahan yang sama, yakni rasa keadilan yang dianggap belum sepenuhnya dirasakan secara merata. Banyak yang menilai hukum masih kerap terasa keras kepada mereka yang lemah, namun lunak ketika berhadapan dengan kekuasaan dan status sosial. Dalam pandangan publik, keadilan seharusnya tidak bergantung pada siapa pelakunya, melainkan pada fakta dan aturan hukum yang berlaku.
Sejumlah pengamat hukum menilai viralnya perbandingan kasus semacam ini menjadi cermin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Ketika publik melihat adanya perbedaan perlakuan, prinsip kesetaraan di hadapan hukum menjadi dipertanyakan. Prinsip equality before the law yang selama ini dijunjung dalam negara hukum seolah kehilangan makna ketika praktik di lapangan tidak sejalan dengan idealisme tersebut.
Di sisi lain, aparat penegak hukum kerap menjelaskan bahwa setiap perkara memiliki karakter dan tingkat kompleksitas yang berbeda. Proses penyidikan, pembuktian, hingga persidangan tidak selalu bisa disamakan antara satu kasus dengan kasus lainnya. Namun, penjelasan ini sering kali belum cukup meredam kekecewaan publik, terutama ketika transparansi dirasa minim dan komunikasi hukum tidak berjalan dengan baik.
Respons publik terhadap isu ini menunjukkan meningkatnya kesadaran dan keberanian masyarakat untuk mengkritisi ketidakadilan. Ruang digital kini menjadi arena penting bagi warga untuk menyuarakan tuntutan moral terhadap lembaga penegak hukum. Tekanan publik pun berpotensi menjadi pendorong agar aparat bekerja lebih terbuka, akuntabel, dan sensitif terhadap rasa keadilan sosial.
Pada akhirnya, perdebatan yang mengemuka bukan sekadar soal cepat atau lambatnya sebuah perkara diproses. Lebih dari itu, yang dipertaruhkan adalah kepercayaan publik terhadap hukum sebagai alat keadilan, bukan alat kekuasaan. Selama hukum masih dipersepsikan berbeda tajamnya ke bawah dan ke atas, tuntutan akan keadilan sosial akan terus bergema di tengah masyarakat.
Penulis adalah mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta, Program Studi Psikologi.