Oleh: Vaneza Andriani Pio
Belakangan ini publik dikejutkan oleh kebijakan baru sejumlah bank yang berencana memblokir rekening atau kartu ATM yang tidak aktif selama tiga bulan. Kebijakan ini disebut sebagai upaya penertiban data nasabah serta pengendalian dana “tidur” yang menumpuk di sistem perbankan. Namun, sejak diumumkan pada Mei 2025, kebijakan tersebut justru menimbulkan gelombang pro dan kontra di masyarakat.
Pihak bank beralasan, langkah ini dilakukan demi efisiensi dan keamanan data nasabah. Namun, banyak masyarakat menganggap aturan ini terlalu ketat, terutama bagi kalangan pelajar, mahasiswa, atau pekerja informal yang jarang melakukan transaksi rutin.
Kebijakan ini terutama diberlakukan di bank-bank besar milik negara seperti BRI, BNI, dan Mandiri. Rekening dikategorikan “tidur” apabila tidak terjadi aktivitas transaksi selama tiga bulan berturut-turut. Setelah itu, bank berhak memblokir sementara akses kartu ATM hingga nasabah melakukan aktivasi ulang. Meski terkesan sederhana, aturan ini menimbulkan keresahan karena banyak warga yang menyimpan uang dalam jumlah kecil untuk kebutuhan mendesak khawatir tidak dapat mengaksesnya saat dibutuhkan.
Argumen pertama, kebijakan pemblokiran rekening dalam waktu sesingkat itu dianggap tidak berpihak pada masyarakat kecil. Banyak warga di pedesaan membuka rekening hanya untuk menerima bantuan sosial atau gaji tidak tetap.
Setelah dana diterima, mereka mungkin tidak lagi menggunakan rekening tersebut dalam waktu lama karena keterbatasan ekonomi. Jika rekening langsung diblokir, mereka harus repot datang ke bank yang jaraknya bisa jauh, dan hal ini jelas menyulitkan, terutama bagi masyarakat yang belum akrab dengan layanan digital banking.
Kedua, aturan ini berpotensi menurunkan kepercayaan terhadap sistem perbankan nasional. Bank semestinya menjadi tempat yang aman bagi siapa pun untuk menyimpan uang tanpa khawatir kehilangan akses.
Ancaman pemblokiran setelah tiga bulan tidak aktif dapat menimbulkan rasa tidak aman dan membuat masyarakat enggan menabung di bank. Jika dibiarkan, ini bisa menurunkan partisipasi masyarakat dalam sistem keuangan formal, karena orang akan lebih memilih menyimpan uangnya di rumah.
Ketiga, dari sisi teknis, batas waktu tiga bulan tergolong terlalu singkat dan tidak realistis. Negara lain umumnya menetapkan masa inaktivitas minimal satu tahun sebelum rekening dianggap tidak aktif.
Jangka waktu tiga bulan tidak mempertimbangkan pola ekonomi masyarakat Indonesia yang sangat beragam—mulai dari mahasiswa hingga pekerja musiman yang tidak selalu bertransaksi setiap bulan.
Sebagai solusi, batas waktu inaktivitas perlu diperpanjang menjadi enam bulan hingga satu tahun agar lebih rasional. Selain itu, pihak bank perlu melakukan sosialisasi yang masif dan memberikan notifikasi otomatis sebelum pemblokiran dilakukan. Dengan begitu, nasabah masih punya kesempatan untuk mengaktifkan kembali rekeningnya tanpa hambatan.
Kebijakan publik idealnya tidak hanya mengejar efisiensi administratif, tetapi juga harus berpihak pada keadilan sosial. Transformasi digital perbankan memang penting, tetapi tidak boleh mengorbankan hak dan kenyamanan nasabah kecil.
Jika uang rakyat disebut “tidur”, maka tugas bank dan pemerintah bukan mematikannya dengan pemblokiran, melainkan membangunkannya dengan solusi yang adil dan bijak.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Program Studi Psikologi.