Oleh Ayu Yunita Sitohang
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai jawaban untuk meningkatkan gizi dan kualitas belajar anak-anak Indonesia. Digagas Presiden Prabowo Subianto dengan anggaran triliunan rupiah dari APBN, program MBG seharusnya menjadi harapan bagi masa depan generasi muda.
Namun kenyataannya, program ini berubah menjadi mimpi buruk. Ribuan siswa mengalami keracunan massal, trauma psikologis, dan hilangnya kepercayaan publik. Tragedi MBG menunjukkan satu hal: niat baik saja tidak cukup. Tanpa pengawasan ketat, persiapan matang, dan tenaga pelaksana yang terlatih, gizi bisa berubah menjadi racun bagi anak-anak yang seharusnya dilindungi.
Gizi yang seharusnya menyehatkan, justru berbalik membahayakan

Pada dasarnya, MBG adalah program yang baik. Anak-anak mendapatkan gizi yang cukup, kesehatan terjaga, dan konsentrasi belajar meningkat. Tetapi sekarang, program ini malah menjadi sumber bahaya. Berita-berita nasional dan lokal melaporkan keracunan massal akibat MBG. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana bahkan mengakui, MBG menyumbang 46 persen kasus keracunan pangan di Indonesia (Baca: cnnnindonesia.com, Senin (20/10/2025).
Fenomena ini memicu kepanikan di masyarakat. Orang tua ketakutan, media ramai memberitakan, dan anak-anak kita harus berakhir di rumah sakit. Program yang awalnya dimaksudkan untuk menambah nutrisi dan meningkatkan daya tahan tubuh generasi muda, kini menjadi ancaman nyata bagi kesehatan mereka.
Apa penyebab tragedi ini? Menurut saya, ada tiga biang keladi:
Pertama, Kurangnya Pengawasan
Pengawasan dalam pelaksanaan MBG lemah. Pihak penyedia makanan sering hanya menjalankan formalitas, tanpa kontrol yang serius. Padahal pengawasan yang ketat, terstruktur, dan berkesinambungan sangat penting untuk memastikan kualitas, keamanan, dan tujuan program tercapai.
Kedua, Kurangnya Pelatihan Tenaga Pelaksana
Banyak yang terlibat dalam pengadaan, pengolahan, dan distribusi makanan tidak memiliki pengetahuan cukup tentang keamanan pangan. Mereka mungkin tidak tahu cara memilih bahan baku yang aman atau mendeteksi makanan yang terkontaminasi. Virus, bakteri, jamur, atau parasit bisa dengan mudah mencemari makanan, peralatan, atau distribusi. Tanpa pelatihan yang tepat, risiko ini semakin besar.
Ketiga, Pengadaan yang terburu-buru
Program dikejar target agar cepat berjalan. Fokusnya lebih pada kecepatan, bukan kualitas. Hasilnya, persiapan matang dan standar higienitas dikorbankan demi memenuhi jadwal. Makanan yang seharusnya bergizi dan aman malah menjadi sumber bahaya.
Tragedi MBG tidak hanya merusak kesehatan fisik anak-anak, tetapi juga psikologis mereka. Banyak yang trauma, takut menyantap makanan di sekolah, dan kehilangan rasa aman. Kepercayaan orang tua terhadap program ini hancur, dan stigma negatif terhadap MBG melekat di mata publik.
Solusi: Belajar dari tragedi
Program MBG tetap memiliki potensi besar untuk meningkatkan gizi dan mutu belajar siswa. Kuncinya adalah: pengawasan ketat, persiapan matang, pelatihan tenaga pelaksana, dan standar higienitas yang tinggi. Bahan baku harus segar, distribusi harus bersih, dan prinsip Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) harus dijalankan.
Jika pemerintah, sekolah, dan masyarakat belajar dari tragedi ini, MBG masih bisa kembali ke tujuan awalnya: memenuhi gizi yang sehat dan meningkatkan kualitas belajar anak-anak bangsa. Jika tidak, kita hanya akan mengulang tragedi yang sama: saat gizi berbalik menjadi racun.
Ayu Yunita Sitohang, Mahasiswa Program Studi S1 Antropologi Sosial, FISIP – USU