Terekam Kamera, Hilang di Jejak: Ironi Penegakan Hukum dalam Kasus Noven

Bagikan Artikel

Oleh: Jessica Dharmawan

Sudah enam tahun berlalu sejak pembunuhan Andriana Yubelia Noven Cahya di gang sempit Jalan Riau, Baranangsiang, Bogor. Noven, siswi SMK Baranangsiang, ditusuk oleh seorang pria tak dikenal saat pulang sekolah. Aksi tersebut terekam jelas oleh CCTV yang berada tidak jauh dari lokasi. Namun hingga kini, rekaman yang seharusnya menjadi petunjuk utama itu tidak pernah membawa pelaku ke meja hijau.

Yang membuat kasus ini semakin ironi, kepolisian sempat meminta bantuan FBI untuk menganalisis video tersebut. Langkah ini menunjukkan betapa seriusnya perhatian terhadap kasus Noven, tetapi pada saat yang sama membuka fakta pahit bahwa proses penyidikan sangat rumit dan berjalan tanpa hasil. Meski teknologi internasional dilibatkan, identitas pelaku tetap tidak terungkap. Muncul pertanyaan besar: bagaimana mungkin sebuah kasus dengan bukti visual sejelas itu berhenti di tengah jalan?

Pertama, lambatnya perkembangan penyidikan menimbulkan tanda tanya terhadap kinerja kepolisian. Enam tahun berlalu, tetapi tidak ada kemajuan berarti. CCTV sudah ada, barang bukti sudah dikumpulkan, dan puluhan saksi telah diperiksa.

Dalam sistem hukum yang ideal, waktu selama itu seharusnya cukup untuk menganalisis jejak digital, mengolah DNA, dan mengidentifikasi ciri fisik pelaku melalui teknologi biometrik. Namun, yang muncul justru pernyataan berulang yang menenangkan tanpa memberikan jawaban: “masih didalami,” “masih dianalisis,” “butuh waktu.” Ketidakjelasan ini membuat kepercayaan masyarakat kepada aparat mulai retak.

Kedua, pelibatan FBI justru menyoroti lemahnya kapasitas teknologi forensik dalam negeri. Alih-alih memperkuat penyidikan, langkah tersebut memunculkan kesan bahwa kemampuan forensik nasional belum memadai.

Lebih jauh, masyarakat mempertanyakan: jika analisis lembaga sekelas FBI saja tidak menghasilkan titik terang, sebenarnya apa yang menghambat kasus ini? Rekaman CCTV memperlihatkan postur pelaku, arah datangnya, cara berjalan, hingga gestur tubuh—data yang seharusnya dapat dicocokkan dengan berbagai basis data kependudukan atau daftar siswa sekolah sekitar lokasi kejadian.

Ketiga, komunikasi publik yang minim membuat kasus ini semakin tenggelam. Tidak ada penjelasan berkala, tidak ada pembaruan resmi, dan tidak ada upaya merangkul masyarakat untuk memberikan informasi tambahan.

Padahal, kerja sama publik sangat penting. Kesaksian baru bisa muncul dari orang yang mungkin pernah melihat pelaku. Tekanan publik pun dapat meningkatkan akuntabilitas penyidik. Sebaliknya, masyarakat dibiarkan berspekulasi, bahkan sampai harus meminta perhatian Komnas HAM demi mencari kepastian.

Perbaikan hanya bisa terjadi jika kepolisian bersedia membuka diri. Pembaruan penyidikan perlu disampaikan secara rutin melalui kanal resmi. Pemerintah daerah juga memiliki tanggung jawab untuk memperkuat infrastruktur keamanan—bukan sekadar memasang CCTV, tetapi memastikan kualitas rekaman baik dan terhubung dengan sistem yang dapat dianalisis secara cepat. Di sisi lain, masyarakat sipil dan media harus terus mengawal kasus ini agar tidak dilupakan begitu saja.

Kasus Noven adalah tamparan keras bagi sistem keadilan pidana kita. Seorang siswi dibunuh di tempat umum, aksinya terekam jelas, bahkan ditangani dengan bantuan lembaga forensik internasional, tetapi pelakunya tetap tidak ditemukan. Ini bukan hanya soal kegagalan mengungkap satu kasus, melainkan soal bagaimana negara menunjukkan komitmennya melindungi warga—terutama anak muda yang seharusnya bisa merasa aman di ruang publik.

Jika keadilan bagi Noven saja tidak kunjung hadir, bagaimana nasib korban lain yang peristiwa tragisnya tidak terekam kamera?

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) , Jakarta, Prodi Psikologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *