Oleh: Agnes Agatha Mongdong
Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan kabar bahwa tanah atau rumah warisan yang tidak dihuni selama jangka waktu tertentu bisa diambil alih oleh negara. Dasar kebijakan ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar yang dikeluarkan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN).
Tujuan awalnya tampak mulia: agar setiap jengkal tanah di Indonesia dimanfaatkan secara produktif, tidak dibiarkan kosong tanpa fungsi sosial. Namun, ketika kebijakan itu menyentuh wilayah yang paling sensitif dalam kehidupan masyarakat — hak kepemilikan tanah warisan keluarga — suara keresahan pun bermunculan.
Dalam kultur Indonesia, warisan bukan sekadar harta benda. Ia adalah penanda kasih sayang dan sejarah keluarga, simbol keterikatan emosional lintas generasi. Banyak keluarga memilih mempertahankan rumah atau tanah peninggalan orang tua mereka sebagai bentuk penghormatan. Tak jarang, ahli waris belum menempatinya bukan karena lalai, melainkan karena masih tinggal di luar daerah, menunggu pembagian warisan, atau tengah merencanakan pemanfaatan yang tepat.
Ketika negara kemudian menganggap tanah semacam itu sebagai “tanah terlantar”, muncul pertanyaan besar: apakah negara sedang menertibkan aset atau justru mengancam hak rakyatnya sendiri?
Unsur “Sengaja” yang Terlupakan
Dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 20 Tahun 2021, disebutkan bahwa tanah dapat dikategorikan sebagai terlantar apabila telah diberikan hak tetapi sengaja tidak digunakan, dimanfaatkan, atau dipelihara.
Kata “sengaja” menjadi kunci penting. Artinya, tanah yang tak ditempati tidak otomatis dianggap terlantar selama pemiliknya masih memiliki niat dan rencana untuk mengelolanya.
Masalah muncul ketika implementasi di lapangan justru mengabaikan konteks ini. Dalam kasus tanah warisan, “ketidakhunian” seringkali bukan bentuk pengabaian, tetapi akibat situasi keluarga atau proses administrasi. Jika unsur ini diabaikan, kebijakan berpotensi melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang menjamin hak kepemilikan pribadi dan melindunginya dari pengambilalihan secara sewenang-wenang.
Celah Tafsir dan Risiko Penyalahgunaan
Lebih jauh, Pasal 11 PP No. 20 Tahun 2021 menyebut identifikasi tanah terlantar dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan. Tetapi, peraturan ini tidak menjelaskan secara tegas berapa lama batas waktu “tidak dimanfaatkan” atau seperti apa indikator pemanfaatan yang sah.
Kekaburan ini membuka ruang tafsir subjektif. Bisa saja petugas menganggap tanah kosong sebagai tanah terlantar, padahal pemilik masih merawatnya, bahkan rutin membayar pajak bumi dan bangunan. Akibatnya, keputusan administratif bisa keliru — bahkan menjadi celah penyalahgunaan wewenang.
Mengabaikan Nilai Sosial dan Budaya
Di luar aspek hukum, kebijakan ini juga berpotensi melemahkan nilai-nilai budaya dan emosional masyarakat Indonesia. Dalam banyak keluarga, tanah warisan adalah simbol perjuangan leluhur. Menjaga tanah itu berarti menjaga identitas. Bila negara dengan mudah melabeli tanah seperti itu sebagai “terlantar”, kebijakan ini bukan hanya soal aset, tetapi juga soal rasa dan warisan kultural.
Padahal, Pasal 9 PP No. 20 Tahun 2021 sebenarnya memberi ruang bagi pemegang hak untuk menyampaikan rencana pemanfaatan atau mengembalikannya secara sukarela sebelum dinyatakan terlantar.
Sayangnya, bagian ini jarang disosialisasikan dengan baik. Pemerintah seharusnya mengutamakan pendekatan persuasif dan humanis — melalui pendataan digital, pendampingan administratif, dan komunikasi publik yang menghormati nilai kemanusiaan.
Menertibkan Boleh, Merampas Jangan
Tujuan penertiban tanah sejatinya mulia: agar setiap lahan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun, pelaksanaannya harus berpijak pada prinsip keadilan, transparansi, dan perlindungan hak warga negara.
Tanah yang tidak dihuni tidak serta-merta ditelantarkan. Hak kepemilikan yang sah tidak boleh hilang hanya karena pemiliknya belum sempat menempati atau mengelola lahan tersebut. Dalam hal ini, negara seharusnya hadir sebagai pelindung, bukan pengambil hak.
Karena itu, kebijakan pertanahan harus ditegakkan dengan akal sehat dan empati sosial. Tanah warisan bukan sekadar aset ekonomi, melainkan identitas dan tanggung jawab keluarga. Pemerintah wajib berhati-hati agar semangat menertibkan tidak berubah menjadi praktik perampasan berkedok aturan.
Pada akhirnya, menertibkan bukan berarti merampas, dan mengatur bukan berarti menghapus hak. Negara kuat bukan karena kekuasaannya mengambil, tapi karena keberaniannya melindungi yang berhak.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida