Oleh: Monica Novalia
Gelombang belanja digital kini mengguncang Tanah Abang, pusat grosir terbesar di Asia Tenggara. Konsumen urban semakin memilih belanja instan melalui aplikasi atau live shopping. Mereka bisa membeli pakaian, tas, atau hijab dalam hitungan detik dan menerima paket di hari yang sama.
Akibatnya, toko fisik yang selama puluhan tahun ramai kini sepi. Antrean panjang pembeli di kios-kios Tanah Abang menjadi pemandangan masa lalu. Pandemi COVID-19 mempercepat tren ini. Konsumen yang dulu terpaksa belanja online kini menjadikannya kebiasaan permanen. Data APEBI menyebut 62% konsumen urban lebih sering membeli produk fashion secara online. Sementara data Dinas Perdagangan DKI mencatat penurunan 38% penyewa kios aktif sejak 2023.
Mengapa konsumen meninggalkan toko fisik? Alasannya sederhana: efisiensi. Belanja online lebih cepat, harga lebih kompetitif, review tersedia langsung, dan pengiriman cepat. Tidak perlu macet, antre, atau berdesakan di kios. Waktu menjadi komoditas berharga bagi masyarakat modern.
Pedagang Tanah Abang menghadapi kenyataan ini dengan cara berbeda. Ahmad Sunandar, Ketua Paguyuban Pedagang Blok A, mengakui perubahan drastis. “Dulu lantai kios penuh pelanggan. Sekarang banyak yang duduk menunggu. Tapi kalau buka live di TikTok, langsung ada pesanan. Mengandalkan pembeli datang bisa bangkrut,” ujarnya.
Namun, tidak semua pedagang sependapat. Seorang pedagang senior yakin pengalaman belanja langsung tetap dibutuhkan. “Toko ini sudah 20 tahun berdiri. Orang pasti tetap datang. Market Tanah Abang nggak akan mati,” katanya. Perbedaan ini menunjukkan bahwa perubahan bukan soal alat, tetapi mentalitas.
Platform e-commerce bukan sekadar tempat jualan. Mereka menawarkan sistem pemasaran otomatis. Algoritma menampilkan produk ke calon pembeli yang tepat. Flash sale, voucher, gamifikasi, dan live shopping membuat belanja cepat dan emosional. Pedagang yang menguasai strategi digital bisa meraih ribuan pesanan tanpa bayar sewa ruko. Sedangkan pedagang yang menunggu pembeli lewat di depan kios tetap menghadapi risiko sepi pelanggan.
Di sini terlihat jelas: krisis toko fisik bukan karena e-commerce semata, tetapi karena menolak berubah. Reputasi lama tidak cukup. Lokasi strategis kalah oleh visibilitas algoritmik. Pedagang yang menggabungkan offline dan online justru melihat penjualan naik. Toko fisik bisa menjadi studio live, pusat retur, sekaligus gudang mini untuk pengiriman cepat. Identitas lama tetap terjaga, tetapi cara beroperasi dimodernkan.
Pelajaran penting: toko fisik tidak mati. Yang mati adalah pedagang yang menolak adaptasi. Konsumen tetap membeli, tapi dengan cara baru. Tanah Abang bisa bertahan sebagai simbol perdagangan nasional, asal ada perubahan kolektif. Pelatihan digital bagi pedagang bukan pilihan, tapi kebutuhan. Pemerintah bisa menyediakan studio live, marketplace resmi “Tanah Abang Online,” dan sistem pengiriman mikro.
Media harus mengubah narasi: pedagang bukan korban teknologi, tapi pelaku perubahan. Tanah Abang bukan menghadapi kiamat ekonomi, melainkan fase transisi ke perdagangan digital yang lebih luas. Jika dikelola dengan visi futuristik, Tanah Abang bisa menjadi episentrum perdagangan digital Indonesia.
Kesimpulannya, masa depan perdagangan bukan pilihan antara toko fisik atau online. Masa depan adalah integrasi keduanya. Pedagang yang bertahan adalah mereka yang bekerja keras sambil berubah. Tanah Abang punya kesempatan untuk tidak sekadar bertahan, tapi memimpin era baru perdagangan nasional.
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Program Studi Psikologi