Soeharto Resmi Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional: Di Tengah Jejak “Proyek Keluarga”, Dinasti Bisnis, dan Luka Krisis Moneter

Bagikan Artikel

Penulis: Winda Gabriella

Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto, resmi ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Prabowo Subianto pada 10 November 2025. Keputusan ini langsung memicu perdebatan luas. Nama Soeharto selama ini selalu hadir sebagai tokoh dengan dua wajah: pemimpin pembangunan yang membawa stabilitas, sekaligus simbol kekuasaan yang dipenuhi praktik korupsi, dinasti bisnis keluarga, dan tragedi krisis ekonomi yang meninggalkan luka panjang. Sorotan semakin tajam karena keputusan ini datang dari Prabowo, yang pernah menjadi menantu Soeharto, sehingga memunculkan pertanyaan tentang netralitas dan arah politik di balik penetapan tersebut.

Secara aturan, gelar Pahlawan Nasional diberikan kepada tokoh yang dinilai berjasa besar, berintegritas, dan tidak memiliki rekam jejak tercela. Di sinilah dilema itu muncul. Banyak pihak mempertanyakan bagaimana syarat “tanpa cacat” dapat dipenuhi, mengingat sejarah Orde Baru menyimpan begitu banyak kontroversi yang sulit dihapus begitu saja. Selama lebih dari tiga dekade memimpin, Soeharto memang membawa Indonesia pada masa stabil dan pembangunan besar. Namun di balik itu, kekuasaan negara juga digunakan untuk memperkuat kepentingan keluarga dan orang-orang terdekatnya.

Istilah “proyek keluarga Soeharto” menjadi gambaran paling jelas dari masalah tersebut. Ibu Tien Soeharto yang dikenal sebagai sosok berpengaruh di balik kebijakan negara, sering dikaitkan dengan proyek-proyek besar yang dianggap tak lepas dari kepentingan keluarga Cendana. Jaringan bisnis keluarga semakin melebar, mulai dari sektor energi, telekomunikasi, hingga industri konsumsi. Banyak perusahaan raksasa tumbuh karena kedekatannya dengan kekuasaan, sementara kompetisi usaha menjadi timpang.

Di tengah pertumbuhan ekonomi yang terlihat menjanjikan, ketimpangan sosial justru semakin melebar. Dinasti bisnis yang dibangun di sekitar keluarga Soeharto membuat batas antara kekuasaan publik dan kepentingan privat semakin kabur. Ketika oligarki ekonomi mencapai puncaknya, kredibilitas pemerintahan pun mulai runtuh di mata dunia.

Semua itu mencapai titik ledak saat krisis moneter 1997–1998. Ekonomi Indonesia ambruk, nilai rupiah terjun bebas, dan jutaan masyarakat jatuh miskin dalam waktu singkat. Korupsi yang mengakar dan kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir orang membuat situasi semakin parah. Gelombang protes besar-besaran kemudian menuntut perubahan total, hingga Soeharto akhirnya mundur pada 21 Mei 1998.

Melihat latar sejarah tersebut, penganugerahan gelar pahlawan kepada Soeharto menjadi keputusan yang monumental sekaligus sarat kontroversi. Apalagi keputusan itu datang dari seorang presiden yang punya hubungan langsung dan sejarah panjang dengan keluarga Cendana. Hal ini menimbulkan kesan bahwa negara tengah merapikan kembali narasi Orde Baru dengan cara yang politis. Pertanyaan besar pun muncul: apakah gelar ini benar-benar diberikan untuk menghormati jasa Soeharto, atau justru menjadi alat untuk menguatkan legitimasi politik dan dinasti yang sudah terbentuk sejak puluhan tahun lalu?

Masyarakat kini terbelah. Ada yang menilai Soeharto pantas dihormati karena membawa pembangunan besar bagi bangsa. Ada pula yang menilai keputusan ini mengabaikan luka sejarah, penderitaan saat krisis, dan praktik kekuasaan yang merugikan rakyat. Perdebatan tentang Soeharto ternyata belum selesai. Gelar ini tidak hanya menambah catatan baru dalam sejarah Indonesia, tetapi juga membuka kembali pertanyaan mendasar: siapa yang layak disebut pahlawan, siapa yang menentukan, dan kepentingan apa yang ikut bermain di balik penilaian tersebut.

Penulis: Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta, Program Studi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *