Sensitivitas Etik Pejabat Negara

Bagikan Artikel

Oleh: Nadine Levani Santoso

Rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan gaji pejabat negara dan anggota DPR menimbulkan gelombang kritik di tengah masyarakat. Alasannya, kebijakan ini datang pada saat yang tidak tepat.

Ekonomi Indonesia belum sepenuhnya pulih pascapandemi, harga kebutuhan pokok terus naik, dan banyak rakyat kecil masih berjuang sekadar memenuhi kebutuhan harian. Dalam situasi seperti ini, wajar jika publik menilai kebijakan tersebut tidak peka terhadap realitas sosial.

Pemerintah beralasan, kenaikan gaji pejabat bertujuan mengurangi potensi korupsi. Namun logika ini terasa janggal bagi masyarakat yang setiap hari berhadapan dengan ketimpangan ekonomi. Jika benar korupsi disebabkan oleh rendahnya gaji, apakah itu berarti moral dan integritas hanya bisa dibeli dengan uang? Pertanyaan ini menjadi refleksi penting tentang etika kepemimpinan di negeri ini.

Masalah utama dari kebijakan semacam ini bukan semata pada angka nominal, melainkan pada sensitivitas moral para pemimpin. Di saat buruh masih memperjuangkan upah layak dan tenaga honorer menanti kepastian status, menaikkan gaji pejabat justru menimbulkan jurang sosial yang semakin lebar. Pemerintah seharusnya menunjukkan empati, bukan memperlihatkan jarak dengan rakyat yang diwakilinya.

Lebih jauh lagi, isu kenaikan gaji anggota DPR memperburuk krisis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Selama ini, DPR kerap dikritik karena minimnya kinerja dan berbagai kasus korupsi yang melibatkan anggotanya. Ketika lembaga yang belum mampu memperbaiki citranya justru meminta kenaikan gaji, masyarakat semakin kehilangan keyakinan bahwa wakil rakyat benar-benar memperjuangkan kepentingan rakyat.

Kebijakan seperti ini bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga cermin moralitas dan karakter kepemimpinan bangsa. Di tengah meningkatnya pengangguran dan kemiskinan, keputusan menaikkan gaji pejabat menunjukkan betapa mudah kekuasaan disalahartikan sebagai hak istimewa, bukan tanggung jawab. Jika pemimpin memberi contoh buruk, maka rakyat pun kehilangan harapan terhadap nilai kejujuran dan tanggung jawab sosial.

Seyogianya, pemerintah meninjau ulang rencana ini. Alih-alih menaikkan gaji pejabat, anggaran tersebut dapat dialihkan untuk hal yang lebih mendesak: subsidi pendidikan, kesehatan, atau bantuan bagi pelaku UMKM. Selain itu, perlu diterapkan sistem evaluasi kinerja berbasis prestasi dan transparansi anggaran agar setiap kenaikan gaji didasarkan pada kontribusi nyata, bukan jabatan politik.

Pada akhirnya, kenaikan gaji pejabat di tengah ketimpangan sosial bukan sekadar isu ekonomi, tetapi cermin dari arah moral bangsa. Demokrasi sejati tidak diukur dari seberapa besar pendapatan pejabatnya, melainkan dari seberapa adil mereka memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.

Pemimpin yang peka terhadap penderitaan rakyat akan lebih dihormati daripada yang sekadar kaya dalam angka. Karena bangsa yang besar bukan dibangun dari kemewahan para pejabatnya, tetapi dari keadilan yang dirasakan oleh seluruh rakyatnya.

Penulis Adalah Mahasiswa Ukrida Angkatan 2023, Program Studi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *