Di tengah derasnya arus digitalisasi, mesin tik perlahan terpinggirkan. Komputer, laptop, dan ponsel pintar memungkinkan orang mengetik dari mana saja, mengirim dokumen secara instan tanpa perlu mencetak. Namun, di Pintu Sumber Universitas Sumatera Utara (USU), keberadaan mesin tik tetap hidup berkat sosok Santi Sinaga.
Perempuan 61 tahun yang akrab dipanggil “kak” atau “buk” ini masih setia menunggu pelanggan dengan bunyi khas “tek-tek-tek” dari mesin tiknya—ritme yang menemaninya sejak tahun 1980-an.
“Mesin tik ini gak ada radiasinya. Kalau pakai komputer, mata cepat lelah. Sudah terbiasa lama ngetik, jadi lebih nyaman pakai tik manual,” ujarnya sambil menepuk mesin tik kesayangannya. Usahanya dinamai Munica, singkatan dari Communicatif, terinspirasi dari jasa tik sebelumnya yang ia kagumi.
Sebelum berwirausaha, Santi sempat menjadi pegawai di sebuah SMP di Medan. Namun, ia memilih mendirikan usaha sendiri. “Saya digaji orang, sementara bisa kerja sendiri. Dulu di Sumber banyak pekerjaan, jadi saya pindah ke sini,” kenangnya, ketika masih menggunakan mesin tik IBM.
Masa Kejayaan dan Kenangan Pelanggan
Pada era 1980 hingga 2000-an, jasa tik manual Santi sangat ramai. Bahkan, ia sampai mempekerjakan beberapa orang untuk membantu. Sehari-hari, mulai pukul delapan pagi hingga enam sore, denting tuts mesin tik menemani permintaan beragam dari mahasiswa USU, Dharma Agung, UMSU, hingga masyarakat umum.
Mahasiswa Fakultas Pertanian, Hukum, dan Ilmu Sosial & Ilmu Politik datang untuk mengetik KRS, tugas kuliah, hingga skripsi. Ada cerita lucu, misalnya mahasiswa yang malas menulis dikasih “hukuman” mengetik kalimat “saya tidak akan mengulangi lagi” berlembar-lembar. Skripsi pun menjadi tantangan tersendiri. “Kalau dicoret dosen, harus ganti satu lembar penuh. Kalau komputer tinggal delete,” kenangnya.
Tak hanya mahasiswa, pekerja kantoran, dosen, hingga lembaga pemerintah pun menggunakan jasanya. Dari laporan Puskesmas, SKCK Kepolisian, hingga dokumen pajak perusahaan, semua pernah diketik manual oleh Santi. Meski ada pelanggan nakal yang suka berhutang, Santi justru menanggapinya dengan humor.
Bertahan di Ujung Harapan
Seiring waktu, permintaan jasa tik manual menurun drastis. Kini, pelanggan hanya membutuhkan bantuan mengetik dokumen seperti surat tanah atau surat segel. Meski demikian, Santi tetap merasa puas ketika bertemu mahasiswa lama yang sukses dan memberi ucapan terima kasih atas bantuannya.
Tarif jasanya cukup terjangkau, misalnya dokumen surat tanah dikenai Rp50 ribu. Ia tidak melihat komputer sebagai pesaing. “Gak ada persaingan. Mesin tik ini langka, komputer orang semua punya,” jelasnya. Penghasilannya bervariasi, bisa mencapai Rp5 juta per bulan, cukup untuk kebutuhan makan dan membayar sewa tempat usaha.
Santi menyesali belum mempelajari komputer sejak dulu karena kekhawatiran kesehatan mata. Meski begitu, semangatnya tetap tinggi. Selama usahanya cukup untuk menopang hidup dan membayar sewa, ia akan terus menjalankan jasa tik manualnya. Harapannya sederhana: mahasiswa yang pernah terbantu bisa sukses, dan tradisi mesin tik tetap hidup di tengah modernisasi.
“Selama masih mampu mencukupi kebutuhan dan bayar sewa, saya akan terus jalankan usaha ini,” tutup Santi dengan senyum hangat. (Mila Audi Putri)