Runtuhnya Benteng Keadilan: Skandal Suap Hakim di Balik Krisis Minyak Goreng

Bagikan Artikel

Oleh: Fernando Valentino Jusuf

Kasus mega korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang merugikan negara hingga Rp6,47 triliun kini terkuak lebih gelap dari yang diduga. Skandal ini bukan sekadar kejahatan ekonomi oleh tiga korporasi besar—Wilmar, Musim Mas, dan Permata Hijau—tetapi juga membuka tabir “mafia peradilan” yang melibatkan suap puluhan miliar rupiah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Fenomena ini menampar keras wajah hukum Indonesia. Vonis lepas yang diketok pada Maret 2025, yang menyatakan korporasi tidak bersalah, rupanya bukan hasil pertimbangan hukum murni, melainkan buah dari suap yang diduga mencapai Rp60 miliar. Saat rakyat mengantre berjam-jam demi satu liter minyak goreng, para hakim yang seharusnya menjadi simbol keadilan justru memperkaya diri sendiri dengan membebaskan penjahat ekonomi.

Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen negara terhadap hukum dan konstitusi. Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. Namun, fakta penyidikan Kejaksaan Agung membuktikan bahwa penguasaan negara itu telah dikhianati. Tiga hakim karier dan seorang mantan pejabat pengadilan kini duduk di kursi pesakitan, membuktikan bahwa konstitusi bisa disalahi demi keuntungan pribadi.

Kerugian negara triliunan rupiah dan suap miliaran tersebut adalah simbol ketimpangan yang menyakitkan. Anggaran sebesar itu seharusnya bisa digunakan untuk subsidi pangan atau perbaikan gizi anak bangsa. Skala kejahatan ini memperjelas bahwa sistem peradilan kita sakit parah; palu hakim tidak lagi digunakan untuk menegakkan hukum, tetapi menjadi komoditas untuk melegitimasi keserakahan korporasi.

Kasus ini juga menunjukkan betapa rapuhnya tata kelola negara terhadap intervensi kekuasaan dan modal. Tertangkapnya hakim yang memutus perkara ini mencerminkan kegagalan total pengawasan di Mahkamah Agung. Demokrasi terancam ketika sektor yudikatif dikuasai jejaring oligarki yang mampu membeli vonis sesuka hati. Indonesia terlihat tak berdaya menghadapi kekuatan modal yang “mengatur” hasil persidangan.

Untuk menangani krisis ini, Kejaksaan Agung harus bertindak tegas, tidak hanya menahan hakim, tetapi juga mengejar korporasi pemberi suap melalui tindak pidana korporasi. Hukum harus ditegakkan tanpa kompromi; vonis ringan bagi penegak hukum yang melacurkan jabatannya tidak boleh ada lagi. Pemerintah perlu melakukan “bersih-bersih” total di lembaga peradilan, sementara DPR harus segera mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset agar negara bisa menyita seluruh kekayaan hasil korupsi dan suap tanpa birokrasi panjang.

Masyarakat juga harus mengawal setiap sidang putusan kasus suap ini agar tidak terjadi pengulangan. Kejaksaan dan pengadilan perlu berani menjatuhkan tuntutan maksimal dan memiskinkan koruptor sebagai bentuk penegasan bahwa hukum masih lebih kuat daripada uang suap.

Skandal suap minyak goreng ini adalah bencana moral sekaligus ekonomi bangsa. Pengungkapan kasus ini menjadi momentum penting: apakah Indonesia akan terus membiarkan hukumnya diperjualbelikan, atau bangkit menegakkan marwah peradilan yang bersih dan berwibawa? Tidak ada toleransi bagi pengkhianat keadilan yang menari di atas penderitaan rakyat. Hukuman berat bagi hakim dan korporasi yang terlibat akan menjadi ujian terbesar bagi demokrasi Indonesia—bukti bahwa hukum masih bisa menaklukkan tumpukan uang suap.

Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana, Program Studi Psikologi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *