Robohnya Pesantren, Robohnya Tanggung Jawab Negara?

Bagikan Artikel

Tragedi robohnya sebuah Musala di Ponpes Al Khoziny yang menewaskan 64 santri bukan sekadar bencana bangunan. Ia adalah potret buram dari abainya negara terhadap lembaga pendidikan berbasis masyarakat dan keagamaan—yang selama ini menjadi benteng moral bangsa.

Selama ini, pemerintah seolah memandang pesantren sebagai wilayah otonom. Asumsinya sederhana: jika dikelola kiai/tokoh agaman, maka semuanya pasti tertib dan sesuai aturan. Padahal kenyataannya jauh dari itu. Banyak pesantren berdiri tanpa izin mendirikan bangunan (IMB) atau tanpa pengawasan teknis bangunan yang layak huni. Tidak sedikit pula yang beroperasi di bangunan semi permanen, dengan dinding retak dan fondasi rapuh, namun tetap dihuni ratusan santri setiap hari.

Kondisi ini menunjukkan adanya kesenjangan pengawasan yang serius. Regulasi dan perhatian pemerintah terhadap sekolah formal begitu ketat, tetapi terhadap pesantren sering kali longgar. Padahal, pesantren bukan lembaga kecil. Ia menampung jutaan anak muda, menjadi pusat pembelajaran agama dan karakter, sekaligus rumah kedua bagi para santri. Menutup mata atas aspek keselamatan mereka adalah bentuk pengabaian tanggung jawab negara.

Tragedi ini seharusnya menjadi titik balik. Pemerintah tidak cukup hanya menyampaikan belasungkawa atau mengirim bantuan. Yang dibutuhkan adalah audit menyeluruh terhadap kelayakan bangunan pesantren di seluruh Indonesia, serta regulasi teknis yang memastikan setiap lembaga pendidikan, apapun bentuknya, memenuhi standar keselamatan minimal.

Kementerian Agama, Kementerian PUPR, dan pemerintah daerah perlu bergerak bersama untuk membuat sistem pendataan dan verifikasi bangunan pendidikan berbasis masyarakat. Selain itu, perlu ada dukungan pembiayaan yang nyata agar pesantren rakyat mampu memperbaiki fasilitas tanpa terbebani biaya tinggi perizinan.

Negara tidak boleh abai entah karena alasan apapun. Keselamatan adalah hak setiap anak bangsa, termasuk para santri. Robohnya pesantren bukan semata karena bangunan yang rapuh, tetapi karena rapuhnya tanggung jawab dan perhatian negara. Jika tragedi ini tidak menjadi pelajaran, maka kita sedang menunggu robohnya nurani kolektif bangsa ini. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *