Tapteng, Bonarinews.com — Di Tapanuli Tengah, sebuah kisah kecil tentang maling berondolan kelapa sawit menjadi contoh menarik bagaimana hukum bisa bersikap manusiawi. Pada Agustus 2024 lalu, Sopardi Tinambunan mengambil berondolan kelapa sawit dari kebun PT Nauli Sawit. Tindakannya jelas masuk ranah pidana menurut Undang-Undang Perkebunan. Namun, kisah ini tidak berhenti pada catatan kriminal semata.
Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara memutuskan untuk menempuh pendekatan restoratif. Bukan berarti pelaku dilepas begitu saja, tapi lebih pada memberi ruang bagi semua pihak untuk memperbaiki hubungan. Sopardi dan perusahaan sepakat berdamai, dengan permintaan maaf yang tulus dari tersangka diterima pihak PT Nauli Sawit. Bahkan, tokoh agama setempat ikut menguatkan niat baik ini, memohon agar kasus tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan.
Menurut Kajati Sumut, Dr. Harli Siregar, keputusan ini adalah wujud penegakan hukum yang humanis. Plh Kasi Penerangan Hukum, Indra Ahmadi Hasibuan, menambahkan, penerapan restoratif justice tidak hanya soal membebaskan tersangka. Lebih dari itu, negara hadir memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, memulihkan keadaan semula, dan menjaga harmoni hubungan sosial.
Apa yang terjadi di Tapanuli Tengah ini mengingatkan kita: hukum bukan sekadar aturan yang keras. Kadang, hukum juga bisa menjadi alat untuk menumbuhkan empati, memberi kesempatan kedua, dan memulihkan kehidupan seseorang. Sopardi kini dapat kembali ke keluarganya, belajar memperbaiki sikap, dan bekerja untuk masa depan yang lebih baik.
Kisah sederhana ini menunjukkan, keadilan yang manusiawi bukanlah hal yang mustahil. Hukum dan belas kasih bisa berjalan beriringan, membentuk masyarakat yang tidak hanya taat aturan, tapi juga saling memahami dan menumbuhkan kebaikan bersama. (Redaksi)