Oleh: Dhea Nathania Kadarusman
Toleransi selalu menjadi pondasi penting dalam kehidupan berbangsa, terutama bagi negara seperti Indonesia yang hidup dari keberagaman. Kita tumbuh di tengah perbedaan agama, budaya, suku, dan pandangan hidup. Jika nilai toleransi tidak dijaga, kekayaan ini bisa berubah menjadi sumber perpecahan. Karena itu, bagi saya, toleransi bukan sekadar istilah yang sering diucapkan di ruang kelas, melainkan sikap yang harus hadir dalam setiap perjumpaan sehari-hari.
Saya merasakan itu langsung ketika menempuh pendidikan di sekolah negeri saat SMP. Lingkungan sekolah saya penuh warna. Teman-teman berasal dari suku, ras, dan agama yang berbeda-beda. Dalam kelompok belajar maupun proyek kelas, perbedaan itu muncul dengan jelas. Ada yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik; ada pula yang datang dari keluarga Jawa, Sunda, atau Batak. Masing-masing membawa cara pandang, kebiasaan, dan kebutuhan ibadahnya sendiri.
Di awal, perbedaan itu membuat suasana agak kaku. Menentukan jadwal diskusi saja bisa menjadi tantangan. Kami harus menyesuaikan waktu shalat untuk beberapa teman, dan menghindari hari Minggu karena ada yang beribadah. Walau terlihat sederhana, situasi seperti ini mudah menimbulkan kesalahpahaman jika tidak dihadapi dengan sikap terbuka.
Namun lambat laun, kami belajar melihat perbedaan dengan cara yang lebih dewasa. Semua berubah ketika kami mulai saling bertanya dengan rasa ingin tahu, bukan dengan prasangka. Obrolan menjadi lebih cair, diskusi lebih jujur, dan penyesuaian terjadi tanpa paksaan. Saya menyadari bahwa toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan dari jauh, tetapi memberi tempat bagi orang lain untuk menjalankan keyakinannya tanpa merasa dihakimi.
Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa memahami jauh lebih penting daripada sekadar mengerti. Memahami berarti mencoba melihat dunia dari posisi orang lain, menyadari bahwa setiap orang dibentuk oleh pengalaman dan nilai yang berbeda. Di titik inilah komunikasi memegang peran besar. Banyak konflik yang muncul bukan karena perbedaan, tetapi karena kita gagal mendengarkan.
Refleksi tersebut membuat saya percaya bahwa toleransi adalah syarat utama bagi bangsa majemuk untuk tetap kokoh. Keberagaman akan menjadi kekuatan ketika kita mau membuka ruang dialog, menghargai keyakinan orang lain, dan menghadirkan empati dalam setiap interaksi. Toleransi mengajak kita untuk terus belajar, terus tumbuh, dan tetap memanusiakan siapa pun, apa pun latar belakangnya.
Penulis adalah mahasiswa Ukrida Jakarta, Program Studi Psikologi.