Racun dan Logika

Bagikan Artikel

Oleh: Fotarisman Zaluchu

Pada pertengahan abad ke-19, London adalah kota yang bak disulap. Kota itu tumbuh begitu cepat. Namun seperti kota-kota baru di Eropa, fasilitas untuk jutaan warganya tak siap. Pemerintah kota berpikir gagap. Merasa London masih kampung, nyatanya dunia berubah cepat. Mirip-mirip pemerintah di banyak kota di Indonesia. Masih memperlakukan merasa kotanya bak kampung, penuh kubangan, tapi tersinggung kalau dibilang kampungan. Pengennya disebut orang kota.

Duh.

Akibatnya, limbah rumah tangga dibuang sembarangan. Belum lagi selokan yang terbuka di mana-mana. Runyamnya, air minum dari sumur yang dulunya bersih, semakin dekat dengan kotoran itu. Tahun 1854, wabah kolera pun besar melanda kawasan Soho, London. Hanya dalam hitungan tiga hari, ratusan orang meninggal. Catatan medis menyebut angka 700-an. Wabah itu memang berjalan cepat, dan dalam situasi yang masih sangat terbatas itu, bau kematian memang menakutkan.

Banyak orang masa itu tahu bahwa penyakit itu beredar di udara. Maka mereka pun meyakini jika kolera berasal dari udara yang busuk akibat kotoran dan sampah. Tapi ada yang merasa tak perlu sok tahu. Namanya John Snow.

Ia dokter. Ia tidak menyalahkan masyarakat di Soho agar lebih bersih dalam makan. Beda dengan pejabat kita, mengganggap masalah keracunan MBG sebagai perilaku jorok. John Snow tak perlu jauh-jauh bernalar sampai harus ke luar negeri, semacam Singapura. Tidak.

Ia berpikir. Dia pakai logika. Manusia dianugerahi batok kepala untuk menampung otak untuk dipakai.

Dan sang dokter pun menggunakan ilmunya. Ia mengumpulkan data. Bukan mengecilkan angka keracunan. Ia tidak berteriak-teriak, “aaaaah kan nol koma dibandingkan penduduk Inggris saat itu”.

Dengan jiwa aksiologi-nya, ia mendatangi rumah-rumah korban. Disitu ia menggunakan tabel dua kali dua, untuk mencatat siapa yang sakit dan siapa yang tidak, serta menanyakan siapa yang menggunakan air minum dari sumber mana. Persis pendekatan investigasi wabah yang sudah modern, padahal itu cara baru dan sangat sederhana.

John Snow mencatat semua informasi. Lalu ia bikin peta kota. Ia tandai pakai titik lokasi-lokasi penderita. John Snow yakin bahwa kolera yang sedang terjadi itu bukan berasal dari udara, melainkan dari air yang diminum. Dan petanya memperlihatkan hasil yang mencengangkan. Hampir semua kasus berpusat di sekitar pompa air umum di Broad Street, kini Broadwick Street, London. Dari data, bukan omon-omon, John Snow membuat dugaan bahwa karena rumah-rumah yang menggunakan air dari pompa itu banyak yang terkena kolera, perlu dilakukan tindakan.

Hipotesis, lalu percobaan.

Tentu John Snow tidak bisa sendiri. Seperti mengurus negeri ini sendirian, tidak mungkin mengandalkan Superhero. Maka janganlah merasa bisa melakukannya dan mengabaikan orang lain.

John Snow, yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Snow White itu, lalu berbicara pada dewan kota. Banyak yang ragu. Tapi pencabutan tuas pompa air agar tidak lagi digunakan harus dicoba.

Masyarakat diminta menggunakan sumber air lain. Dan, seperti biasa, saat sebuah kebijakan penting diambil, semua orang menunggu hasilnya. Saat itu, hasil riset kecil-kecilan tak bisa disetir. Beda dengan survei opini sekarang, banyak yang bayar agar hasilnya memukai dan mengkilau.

Tak lama, jumlah kasus kolera pun menurun drastis. Penyelidikan selanjutnya menemukan bahwa air sumur tersebut memang telah tercemar oleh limbah manusia dari tangki septik yang bocor dari rumah penderita kolera. Bocor. Merembes ke dalam sumber air utama. Dan itulah yang menjadi sumber dari kolera yang menimpa seluruh warga kota.

Di abad 21 ini, saya heran. Saat ilmu menginvestigasi penyakit sudah sangat mapan. Laboratorium dimana-mana. Lulusan ilmu kesehatan sudah melimpah ruah. Tapi keracunan MBG masih tak berhenti.

Malu sama Dr. John Snow. Ia bikin riset murah meriah. Modalnya logika. Hasilnya jelas. Mungkin ada bedanya dengan situasi sekarang. Dulu Dr. John Snow tak punya prinsip ABS alias Asal Bapak Senang. Sekarang? Eh, bapak mana yang ingin disenangkan rupanya?

Duh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *