Quarter Life Crisis: Ancaman Nyata Bagi Generasi Z, Terutama Mahasiswa

Bagikan Artikel

Oleh: Ayu Yunita Sitohang, Mahasiswi USU

Belakangan ini, istilah quarter life crisis semakin sering terdengar di kalangan Generasi Z, khususnya mahasiswa. Dalam psikologi, fase ini sering disebut “krisis seperempat abad” — masa ketika seseorang berada di rentang usia 20–30 tahun dan dilanda kebingungan, kecemasan, serta rasa ragu akan masa depan. Di periode ini, banyak anak muda mulai mempertanyakan identitas diri, tujuan hidup, hingga masa depan karier dan finansial.

Di media sosial, kita bisa dengan mudah melihatnya. Teman sebaya memamerkan kelulusan, pekerjaan bergengsi, atau liburan mewah. Seketika, perasaan “aku tertinggal” muncul. Membandingkan diri dengan orang lain jadi kebiasaan yang diam-diam menggerogoti rasa percaya diri. Kita lupa melihat pencapaian kita sendiri, terjebak dalam lingkaran iri hati dan keraguan.

Fenomena ini ternyata bukanlah isapan jempol. Penelitian Agustina (2022) di Indonesia menemukan bahwa 98 persen dari 125 partisipan mengaku mengalami quarter life crisis. Temuan ini diperkuat oleh riset Jurnal Kesehatan Tambusai (2024) yang menyebutkan, pada fase ini, seseorang menghadapi berbagai tekanan: tuntutan untuk berprestasi secara akademik dan profesional, hingga paparan media sosial yang dapat meningkatkan risiko kecemasan.

Sayangnya, jika dibiarkan terlalu lama, quarter life crisis bisa menjadi penghambat serius dalam pengembangan diri mahasiswa. Fase ini dapat memicu stres berkepanjangan, depresi, bahkan membuat seseorang kehilangan motivasi untuk berkembang.

Lantas, apa penyebab utama quarter life crisis di kalangan mahasiswa? Menurut saya ada tiga:

Pertama, Kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain

Di era media sosial, membandingkan pencapaian diri dengan orang lain menjadi jebakan yang sulit dihindari. Melihat teman sebaya lulus cepat, bekerja di perusahaan besar, atau sering traveling, sering kali membuat seseorang merasa tertinggal. Padahal, membandingkan hidup kita dengan orang lain hanya membuat kita buta terhadap pencapaian diri sendiri. Lama-kelamaan, hal ini menurunkan rasa percaya diri, memicu rasa iri, bahkan merusak hubungan sosial.

Kedua, Tekanan dari keluarga dan lingkungan

Banyak mahasiswa merasa terbebani oleh harapan orang tua untuk segera “sukses” setelah lulus. Lingkungan sosial pun sering menilai keberhasilan dari seberapa cepat seseorang memenuhi standar tersebut. Akibatnya, mereka yang belum “sampai” sering merasa gagal sebelum memulai. Tekanan ini memicu kecemasan, keraguan terhadap pilihan hidup, hingga rasa tidak percaya diri.

Ketiga, Krisis identitas

Tidak sedikit mahasiswa yang belum memahami siapa dirinya, apa yang diinginkan, atau arah hidup yang ingin dituju. Tanpa pemahaman akan minat dan bakat, langkah menjadi hampa. Riset Chao (2022) menemukan, krisis identitas diri memengaruhi lebih dari separuh quarter life crisis. Ini menegaskan bahwa kebingungan soal jati diri menjadi salah satu akar permasalahan utama.

Mengingat betapa besarnya pengaruh quarter life crisis, perlu diantisipasi dengan benar. Ada beberapa langkah positif yang diambil:

  1. Eksplorasi minat dan bakat: Kenali diri melalui tes minat dan bakat, atau refleksi personal. Setelah itu, tingkatkan keterampilan yang relevan untuk mendukung tujuan karier.
  2. Cari dukungan sosial: Keluarga, sahabat, dan teman dekat dapat menjadi sumber energi positif. Riset 2024 menunjukkan dukungan sosial memiliki pengaruh signifikan (4,8%–52,4%) dalam membantu individu melewati quarter life crisis.
  3. Fokus pada pengembangan diri: Ikuti pelatihan, kursus, atau kegiatan positif yang meningkatkan kemampuan dan memberi nilai tambah untuk masa depan.

Quarter life crisis adalah fase wajar, tetapi tidak boleh diabaikan. Generasi muda, khususnya mahasiswa, perlu berani mengambil langkah untuk keluar dari fase ini. Pengembangan diri sejak sekarang bukan hanya solusi, tapi investasi berharga bagi masa depan. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *