Oleh Faidin
Jumat, 12 Desember 1992, laut di sekitar Pulau Babi tampak biasa saja. Tenang, seperti hari-hari lain yang dikenali orang Bajo: angin utara yang lembut, perahu kecil yang ditambatkan longgar, dan suara anak-anak memecah permukaan air di tepi pantai. Tidak ada tanda bahwa ketenangan itu sedang menghitung mundur menuju bencana.
Beberapa menit lewat pukul lima sore, bumi mendadak bergemuruh. Rumah panggung berderit, perabotan berjatuhan, dan wajah-wajah yang tadinya santai berubah panik. Getaran itu berlangsung cukup lama—cukup lama untuk membuat orang bingung memilih antara berlari atau tetap diam.
Ketika guncangan berhenti dan napas mulai kembali teratur, sesuatu yang lebih besar sudah berjalan menuju pulau itu.
Dari arah laut muncul suara ganjil: seperti campuran gemuruh jauh dan siulan panjang. Orang-orang Bajo yang paling sepuh mengenali suara tersebut, tetapi tak sempat memberi peringatan. Di cakrawala, garis laut seakan berdiri. Bukan ombak pasang. Bukan gelombang biasa. Itu dinding air.
Dan ia melaju cepat.
Gelombang pertama menghantam seperti besi gelap. Rumah panggung tercerabut, sampan terbalik, tubuh manusia terputar seperti ranting. Anak-anak yang baru saja bermain mencoba berlari ke tangga rumah—tangga yang sudah terlepas. Seseorang berteriak memanggil nama anaknya, namun suara itu terpotong arus balik yang menggeret apa pun yang masih tersisa. Tidak ada tempat aman, tidak ada arah penyelamat.
Mereka yang selamat menggambarkan detik itu dengan potongan-potongan memori yang sulit dirangkai: suara kayu patah, jeritan yang tenggelam, bau lumpur bercampur bangkai ikan, dan gelap yang datang terlalu cepat—seakan malam turun dalam sekali helaan.
Gelombang kedua dan ketiga menyusul, menghantam sisa-sisa pulau yang sudah limbung. Beberapa pohon besar masih berdiri, tetapi banyak rumah bergeser puluhan meter dari tempatnya. Pulau Babi berubah menjadi tumpukan puing yang berserakan.
Saat malam tiba, mereka yang selamat berkumpul di titik yang lebih tinggi. Tanpa cahaya, tanpa api, tanpa tahu siapa yang masih hidup atau hilang. Beberapa anak menangis pelan, bingung mengapa laut—yang selama hidup menjadi sahabat—mendadak berubah menjadi musuh.
Pagi berikutnya, Pulau Babi terasa bukan lagi rumah. Garis pantai berubah bentuk, tanah naik-turun tak beraturan, perahu terbawa jauh ke daratan, pohon-pohon tumbang, dan rumah yang dulu berjajar kini hilang bersama ingatan kolektif tentang ketenteraman.
Penyintas memahami satu kenyataan: pulau itu tak lagi bisa dihuni.
Maka perjalanan panjang dimulai. Dengan perahu seadanya, warga Bajo meninggalkan pulau yang menjadi bagian hidup mereka selama generasi. Sebagian menuju Nangahale, sebagian ke Pulau Permaan, sebagian lagi ke arah laut mana pun yang mereka yakini lebih aman. Tidak ada peta, tidak ada rencana—hanya keinginan untuk tetap hidup.
Di Nangahale dan Permaan, mereka membangun tenda-tenda darurat, berbagi kisah tentang siapa yang hilang dan siapa yang ditemukan. Di tempat-tempat itu, komunitas Bajo dari Pulau Babi perlahan merajut kembali kehidupan yang tercerabut.
Namun Pulau Babi tidak pernah pergi dari ingatan mereka. Ia hidup sebagai cerita masa kecil, sebagai suara sampan yang diseret pasang, sebagai tawa yang kini tenggelam bersama tsunami hari itu. Tiga dekade berlalu, tetapi tanggal 12 Desember 1992 tak pernah benar-benar menjadi masa lalu. Ia selalu kembali setiap kali bumi bergetar, setiap kali ombak besar berdenting di kejauhan, setiap kali anak-anak bertanya kenapa keluarga mereka tidak tinggal di pulau lagi.
Pulau Babi mungkin hilang dari peta, tetapi tidak dari ingatan Bajo. Ia hidup dalam setiap kayuhan perahu, dalam setiap anak yang belajar membaca arus, dalam setiap cerita yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mereka kehilangan pulau, tetapi tidak kehilangan laut. Dari puing-puing itu, tumbuh ketangguhan baru—ketangguhan yang hanya dimiliki mereka yang hidup sedekat itu dengan laut sejak hari pertama hidupnya.
Penulis adalah Jurnalis Bonarinews.com