Sidikalang, Bonarinews.com — Bagi seorang pelari jarak jauh, pulang kampung bukan sekadar perjalanan. Ia adalah jeda. Nafas yang ditarik panjang setelah berbulan-bulan berlari mengejar waktu, target, dan garis akhir. Natal tahun ini menjadi jeda semacam itu bagi Odekta Elvina Naibaho.
Pelari maraton nasional itu kembali ke Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara. Bukan sebagai atlet yang baru saja membawa pulang medali emas dari SEA Games 2025 Thailand, melainkan sebagai anak kampung yang ingin duduk diam bersama keluarga, di tengah Natal yang lebih sunyi dari biasanya.
Sidikalang tak sedang baik-baik saja. Sejumlah wilayah di Sumatra baru saja dilanda bencana. Rumah kakak Odekta turut terdampak. Natal tetap dirayakan, tetapi tanpa kemeriahan. Tanpa hiruk-pikuk yang biasa. Yang tersisa adalah ibadah sederhana, meja makan keluarga, dan percakapan yang lebih banyak berisi jeda.
Di sinilah perayaan itu menemukan maknanya.
Odekta mengatakan, kebahagiaan Natal kali ini justru lahir dari kesederhanaan. Anak-anak kampung tetap bersukacita, meski dengan keterbatasan. Tak ada pesta besar, tetapi ada ketulusan. Tak ada gemerlap, tetapi ada kebersamaan.
Dalam dunia olahraga prestasi, Odekta terbiasa menghitung segalanya dengan angka. Waktu tempuh, jarak, detak jantung. Di Bangkok, ia mencatat 2 jam 43 menit 13 detik untuk menjuarai maraton SEA Games. Angka yang presisi, hasil latihan bertahun-tahun, dan disiplin yang nyaris mekanis.
Namun di Sidikalang, angka-angka itu tak lagi penting.
Medali emas yang dibawanya pulang memang menjadi hadiah Natal. Tapi bukan yang utama. Odekta justru memilih melelang singlet yang ia kenakan saat berlari menuju kemenangan. Hasilnya ia dedikasikan untuk korban bencana di Sumatra—wilayah yang membentuknya, jauh sebelum ia mengenal podium dan bendera.
Sejak awal, ia memang sudah meniatkan larinya di SEA Games sebagai bentuk solidaritas. Baginya, kemenangan tak berhenti di garis akhir. Ia baru bermakna ketika bisa dibagikan.
Di titik ini, olahraga bertemu gaya hidup. Bukan sebagai tontonan prestasi, melainkan sebagai cara hidup—tentang bagaimana seorang atlet memaknai tubuhnya, kemenangannya, dan kepulangannya. Tentang bagaimana berlari bukan hanya untuk mengejar waktu, tetapi juga untuk kembali.
Natal Odekta tahun ini mengajarkan satu hal sederhana: kadang yang paling dibutuhkan bukan langkah cepat, melainkan keberanian untuk berhenti sejenak. Pulang. Duduk bersama keluarga. Dan menyadari bahwa kemenangan terbesar tidak selalu berkilau.
Ia sering hadir dalam bentuk yang paling sunyi. (Redaksi)