Oleh Pretty Lumbanraja
Banyak cara untuk memperbaiki kebenaran yang sempat dibengkokkan dengan sengaja. Tidak setiap orang bisa menerima cara pembenaran itu. Padahal tujuannya baik, yaitu semangat perubahan, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh karyawan.
Satu orang saja yang penuh dengan keberanian untuk menjegal itu, semua kepentingan akan tersenggol. Satu orang saja yang menggerakkan perubahan, semua kepentingan akan sibuk dengan sejuta cara untuk menjatuhkan. Satu orang saja, sudah cukup!
Barangkali, Wawan bergerak bukan atas dasar kemauannya sendiri. Sebagai karyawan baru yang masih menjalani masa training selama enam bulan, atasannya sudah berani memberikan penugasan yang dirasa orang berat untuk dikerjakan. Ada istilah ‘lempar bola panas’ itu yang tidak disadarinya.
“Wan, tahun ini kita ada penugasan memeriksa proyek penanaman tebu yang sedang dikerjakan. Nanti sekitar pukul 10.00 WIB, dampingi saya menemui Pak Rizky untuk melakukan pertemuan awal.”
Mendengar perintah atasannya yang sudah bisa dikatakan golongan senior itu, Wawan tidak berkutik. Bagaimana bisa? Untuk saat ini, di masa-masa menjelang pensiun atasannya itu, Wawan harus banyak-banyak menimba ilmu tentang dunia pemeriksaan. Telinganya sampai berkerak mendengar petuah ‘gelas setengah kosong’ setiap hari. Bagi Wawan, yang penting tindakan dengan penuh keberanian daripada hanya sekedar kata-kata.
Pertemuan berjalan dengan baik. Pak Rizky selaku pimpinan dari proyek tersebut, tampaknya menyambut pemeriksaan yang akan dilakukan. Meskipun kelihatan gerak-gerik tubuhnya yang tampak gelisah.
“Kami akan bekerja sama dengan tim pengawas dalam memberikan data-data pendukung yang menunjang pemeriksaan,” kata Rizky.
“Baik, Pak. Terimakasih.”
Beberapa hari kemudian, dalam kesempatan yang tepat, Wawan pun menghubungi Yudi – bawahan dari Pak Rizky – untuk memberikan data-data yang dimaksud. Suatu ketika, gawai Wawan berbunyi. Sebuah panggilan dari Yudi.
“Wan, pegimane sih ente. Ini Pak Rizky jadi marahin ane soal data-data yang lu minta. Masak katanya kalian belum ada minta ijin ke dia. Jadi berabe nih”.
“Waduh, terus gimana, Yud?” tanya Wawan dengan panik.
“Ini, lu diminta kudu temuin Pak Rizky sekarang. Dia marah besar sama lu. Ibarat bom yang sudah meledak. Kira-kira begitulah kemarahan dia.” Wawan duduk terjengkang. Ia terkesiap dengan yang terjadi.
Wawan sudah bisa membayangkan betapa marahnya Pak Rizky kepadanya. Dia sempat ragu. Bukannya pertemuan masuk yang sudah dilakukan beberapa waktu lalu cukup disambut dengan baik. Ia tafakur. Lucu saja baginya jika seorang pemeriksa yang seharusnya mematuhi prosedur malah tidak menjalankan aturan dengan baik. Sekelebat dia ragu pada dirinya sendiri apakah dia layak disebut ‘sang pemeriksa sejati’.
Di awal menjalani training ini, dia sudah melakukan sebuah kesalahan yang dapat menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk menerimanya sebagai karyawan tetap. Namun, terlebih dahulu Wawan menemui atasannya untuk mendapatkan arahan lebih lanjut.
“Aduh, Wan. Kamu hadapi dulu ya. Saya yakin kamu pasti bisa. Sekalian belajar menghadapi auditee – orang yang diperiksa,” begitu kata atasannya. Wawan pun mengencangkan ikat pinggangnya.
Rasanya tidak perlu mengandalkan jurus mandraguna untuk menyelesaikan perkara sulit ini. Dan juga rasa bersalah sampai dia harus minta maaf dengan cara tersuruk-suruk. Cukup bermodalkan telinga tebal dan kekuatan hati untuk tidak mudah tersinggung. Dia akan hadapi sendiri Pak Rizky dengan segala risiko yang ada.
Sebelum masuk ruangan, Wawan mengetuk pintu. Pak Rizky tidak menyahut. Wawan masuk saja berdiri di ambang pintu dan tidak dipersilahkan duduk.
“Kamu ya Wawan, tidak punya sopan santun! Berani-beraninya kamu minta data ke Yudi tanpa sepengetahuan saya! Masih juga anak baru kamu! Tahu apa kamu sehingga mau memeriksa kinerja saya? Udah jagoan kamu ya!” Omelannya merembet-rembet.
Wawan diam saja. Dipandanginya wajah Pak Rizky yang melototinya penuh amarah. Urat lehernya menegang. Telunjuk kanannya ditujukan pada Wawan. Beberapa waktu selama lima belas menit, amarah Rizky memenuhi sampai ke sudut ruangan. Orang-orang situ pasti terganggu atas rongrongannya.
Rizky seperti meledak, namun, sudah cukup memahami apa yang terjadi. Rizky memang orang paling kejam dan emosian jika menyangkut pemeriksaan. Direktur saja pun bisa harus mengendurkan urat saraf sebelum menegurnya.
Bagi sebagian pimpinan, menerima laporan suatu pencapaian produktivitas dapat mengaburkan kesalahan besar sekalipun. Dalam suatu perusahaan yang diutamakan bagaimana pendapatan dapat terwujud dari proyek yang berjalan. Teguran lisanbukan menjadi rem untuk menurunkan kecepatan.
Wawan pun tetap pamit dengan sopan. Rizky melengos. Seolah-olah semua kekesalannya dapat membungkam agar pemeriksaan dihentikan. Atas apa yang sudah terjadi, Wawan dan atasannya mafhum sendiri. Bahwa ada kekuatan besar yang melindungi Rizky dan tim. Bagaimanapun proyek harus terus berjalan meskipun menabrak tata kelola perusahaan.
“Ya sudahlah, Wan. Saya tidak mau cari ribut. Biarkan saja mereka melakukan apapun yang mereka mau. Toh juga gaji kita masih dari perusahaan sendiri. Posisi kita memang sulit untuk independen dan objektif. Kita kerjakan saja penugasan yang lain,” respon atasannya kepada Wawan.
Dalam hati Wawan bergejolak. Dari awal bukan maunya untuk ditempatkan di bagian pengawasan dan pemeriksaan. Dibandingkan teman-temannya yang lain berada pada divisi yang menguntungkan.
Kelihatannya mereka mendapatkan insentif atas pencapaian penjualan dan produksi, ada yang diperuntukkan untuk bertemu dengan orang-orang baru yang memberi manfaat jangka panjang, dan ada juga yang ditempatkan pada bagian yang memungkinkan melakukan pekerjaan lapangan yang menantang.
“Rasa-rasanya aku tidak akan bertahan lama disini. Divisi ini bukan suatu tempat bagiku untuk berkembang. Mau gimana berkembang, siapa sih yang mau diperiksa? Atasan juga tidak mendukung”, guman Wawan.
Berbulan-bulan waktu terus berjalan, Rizky pun dimutasi menjadi pimpinan dalam suatu kantor cabang di Kota Bandung. sepertinya proyek yang ditangani Pak Rizky merupakan sepak terjang untuk melambung tinggi ke dalam nirwana dunia karirnya.
Wawan tidak perlu heran lagi dengan apa yang sudah terjadi di Kantor. Pengalaman-pengalaman yang sudah dialami mengajarkannya untuk ‘bekerja sesuai porsinya’.
Jika melawan arus yang deras akan terhanyut. Tapi, Wawan tidak patah semangat bekerja. Ia terus berkarya dalam tulisan. Beberapa kompetisi diikuti sebagai caranya untuk berkembang.
Atasan Wawan kini sudah berganti. Ritme dan pola bekerja yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini, lebih pasang badan kepada bawahan dan pemberani. Barangkali karena jiwa integritasnya yang tidak mampu dipatahkan hanya perkara mengincar posisi tinggi yang masih kosong.
Baginya, jika perusahaan tidak cepat-cepat berbenah diri, kehancuran akan terjadi. Toh juga tidak jarang kasus perusahaan yang bangkrut hanya karena penerapan tata kelola yang buruk. Bagi atasan Wawan yang sekarang, rezeki tambahan bisa dicarinya dari tempat yang lain. Selagi itu halal dan tidak merugikan siapapun.
Meskipun itu, Rizky tetap bersitegang. Ia tidak mau di-audit. Penugasan pemeriksaan melalui tim yang ditempatkan di kantor cabang tersebut juga ditolaknya. Ia tidak sadar diri bahwa orang bodoh sekalipun tahu bahwa keputusan dan kebijakannya sudah merugikan perusahaan.
Mulai dari sistem pengadaan yang tidak jelaslah, sistem penggajian yang belum tertib, peningkatan karyawan tanpa kajian yang jelas, dan lain sebagainya. Ia merasa sudah di atas angin. Baginya, keputusan pimpinan tertinggi pasti memprioritaskan program-programnya.
Lantas, saat penugasan audit yang diberikan oleh Direktur itu ditolaknya, sudah pasti Rizky menolak perintah Direktur sendiri. Ia pun sempat berdalih, bahwa cara pertemuan awal yang berlangsung itu tidak sesuai dengan prosedur sebagaimana mestinya yang kemudian memberikan ‘boomerang kepada tim pemeriksa’.
“Saya bukan menolak perintah. Surat mengenai arahan penugasan pengawasan yang tidak jelas maksudnya apa,” kata Rizky berdalih.
Meskipun Rizky mengijinkan pelaksanaan audit, tetap saja dia mencekoki para bawahannya untuk tidak bekerjasama kepada tim. Data yang tidak didukung secara transparan hingga konfirmasi yang mengaburkan.
Ponsel Wawan berdering. Sebuah panggilan dari Yudi. Entah sejak kapan mereka saling bertukar panggilan.
“Wan, ente kan sedang dinas di kantor cabang nih. Ada jumpa dengan Pak Rizky gak? Ada dengar kabar terbaru gak?” tanya Yudi.
“Kagak, ada apa rupanya?”
“Ah, serius gak dengar apa-apa?”
“Ada apa?”
“Baiklah. Itu Pak Rizky mengundurkan diri dari kepala cabang. Padahal baru satu tahun dia menjabat ya, kan. Hahaha”, Yudi merasa geli sendiri kepada mantan bosnya dulu.
“Karena apa, Yud?”
“Dia tidak mau diaudit dari pihak eksternal jadi memilih untuk mengundurkan diri. Hahaha”.
Wawan terdiam. Semua pernyataan tersebut menyiratkan banyak makna. Tiba-tiba dia teringat dengan petuah atasannya dulu hingga membuat telinganya berkerak bahwa “Sebauk-bauknya kotoran, lebih bauk lagi orang yang cacat kerjanya.” (*)
*Penulis adalah Cerpenis dan bergiat dalam Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen) .