Oleh: Mairani Brigita Kristine
Belakangan ini publik dikejutkan oleh penutupan sejumlah SPBU Shell di berbagai kota besar Indonesia. Langkah ini bukan sekadar strategi bisnis, melainkan cerminan dari kebijakan energi nasional yang semakin menekan pelaku swasta.
Sejak pertengahan 2025, pemerintah menerapkan sistem impor BBM satu pintu melalui Pertamina, yang berarti perusahaan swasta seperti Shell, BP, dan Vivo tidak lagi memiliki hak untuk mengimpor bahan bakar secara mandiri. Seluruh pasokan mereka bergantung penuh pada Pertamina yang ironisnya, sering kali mengalami keterlambatan impor dan defisit pasokan.
Ketika stok Pertamina seret, SPBU swasta pun ikut mati langkah. Akibatnya, Shell dan beberapa pemain lain terpaksa menutup sebagian gerai, bahkan bersiap hengkang dari pasar Indonesia pada 2026.
Namun di balik tutupnya SPBU swasta ini, ada ironi yang lebih dalam. Pertamina, satu-satunya pemain besar yang dilindungi pemerintah, justru masih terus mencatatkan tekanan finansial dan utang jumbo.
Bayangkan, sebuah perusahaan raksasa negara yang telah berdiri lebih dari tujuh dekade, menguasai seluruh jalur distribusi minyak, tapi tetap saja kesulitan mencetak keuntungan.
Jika warung kecil di pinggir jalan saja bisa menghitung untung rugi tiap harinya, bagaimana mungkin perusahaan sebesar Pertamina justru dibiarkan beroperasi tanpa efisiensi yang jelas?
Kebijakan yang seharusnya memperkuat kedaulatan energi justru berubah menjadi monopoli yang menutup ruang persaingan sehat dan pada akhirnya, rakyat juga yang menanggung akibatnya lewat harga BBM yang tak stabil dan pelayanan yang stagnan.
Bagi saya kebijakan impor BBM satu pintu melalui Pertamina sejatinya adalah bentuk monopoli terselubung yang dilegalkan negara. Alih-alih memperkuat kedaulatan energi, kebijakan ini justru menutup ruang kompetisi dan mematikan iklim usaha yang sehat.
Pemerintah seolah menafsirkan “kedaulatan” sebagai “ketergantungan tunggal pada BUMN”, padahal di banyak negara, pasar energi justru tumbuh karena keterbukaan dan persaingan yang efisien.
Ketika semua jalur impor dan distribusi harus lewat Pertamina, perusahaan swasta kehilangan kendali atas rantai pasoknya.
Dampaknya sangat jelas, kelangkaan BBM non-subsidi, harga yang tak stabil, menurunnya pelayanan publik, bahkan angka pengangguran tentu ikut bertambah dengan ditutupnya lapangan pekerjaan.
Ironisnya, di saat pemain swasta tersingkir, Pertamina pun belum menunjukkan performa yang layak disebut efisien. Publik pun mulai bertanya “Apakah kebijakan ini dibuat demi rakyat, atau demi menjaga citra korporasi negara yang sudah terlalu lama dibiarkan rapuh?”
Lebih parah lagi, monopoli Pertamina tidak otomatis berbanding lurus dengan efisiensi. Selama puluhan tahun menjadi pemain tunggal dalam industri energi, Pertamina justru berkali-kali mencatat kerugian dan tumpukan utang.
Ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana mungkin perusahaan sebesar itu, yang menguasai hampir seluruh rantai pasok minyak nasional, tidak bisa menghasilkan keuntungan yang stabil?
Dalam logika bisnis sederhana, bahkan warung sembako di sudut gang pun bisa menghitung untung dan rugi setiap harinya. Namun pada Pertamina, kerugian seolah menjadi hal yang lumrah, seakan uang rakyat bisa terus menambal kesalahan manajemen.
Transparansi keuangan yang minim, pengelolaan sumber daya yang boros, dan kebijakan subsidi yang tidak tepat sasaran membuat BUMN ini seperti kapal besar yang terus bocor tapi dibiarkan berlayar.
Pemerintah menutup mata, seolah laba bukan ukuran penting, padahal di sinilah letak absurditasnya. Perusahaan milik negara yang hidup dari uang rakyat justru gagal memberi manfaat nyata bagi rakyat itu sendiri.
Ketika pemerintah membatasi ruang gerak perusahaan internasional seperti Shell, dampaknya tak hanya terasa pada sektor energi, tetapi juga pada kepercayaan investor global terhadap stabilitas kebijakan Indonesia.
Dunia bisnis hidup dari kepastian dan transparansi. Begitu negara menunjukkan sikap protektif berlebihan terhadap BUMN, para investor bisa saja mulai ragu. Apakah Indonesia benar-benar pasar yang terbuka dan adil, atau hanya bermain aman di bawah bayang-bayang monopoli negara?
Jika perusahaan sekelas Shell saja bisa tersingkir oleh regulasi yang tidak seimbang, bagaimana nasib perusahaan kecil atau startup energi yang ingin berinovasi di sini?
Kebijakan yang menutup diri dari kompetisi global justru mengisolasi bangsa dari kemajuan. Indonesia bisa kehilangan momentum untuk belajar teknologi baru, efisiensi distribusi, dan tata kelola modern yang biasa dibawa oleh korporasi internasional.
Pada akhirnya, ketika dunia melangkah menuju transisi energi bersih dan efisien, kita masih sibuk menjaga monopoli yang bahkan tidak mampu menyejahterakan rakyatnya sendiri.
Melihat kompleksitas persoalan ini, pemerintah seharusnya tidak terus bersembunyi di balik dalih “kedaulatan energi”.
Yang dibutuhkan bukan monopoli, melainkan regulasi yang adil dan transparan agar BUMN dan swasta dapat bersaing sehat dalam sistem terbuka.
Pemerintah perlu merevisi kebijakan impor BBM satu pintu dan membuka kembali akses bagi perusahaan swasta untuk mengelola rantai pasok mereka secara mandiri, dengan pengawasan ketat terhadap kualitas dan keamanan energi nasional.
Pertamina juga wajib direformasi secara struktural, mulai dari pembenahan manajemen, transparansi keuangan, hingga evaluasi kinerja direksi agar tidak terus bergantung pada proteksi negara.
Dan menurut saya, daripada energi kita sebagai WNI hanya tersita untuk aksi protes kenaikan gaji DPR. Fenomena ini juga perlu kita kritisi karena menyangkut triliunan rupiah uang negara.
Bayangkan, kerugian dan potensi kebocoran di sektor migas saja bisa mencapai ratusan triliun, seperti yang pernah diungkap Kejaksaan Agung dalam kasus tata kelola minyak Pertamina.
Ini bukan sekadar angka di laporan keuangan, tapi potensi hilangnya kesejahteraan rakyat dalam skala nasional. Sudah saatnya masyarakat bersuara lebih keras soal efisiensi dan transparansi BUMN, karena di sanalah sesungguhnya jantung ekonomi negara dipertaruhkan.
Pada akhirnya, isu Pertamina bukan hanya tentang minyak atau bisnis, melainkan tentang bagaimana negara ini memaknai tanggung jawabnya terhadap rakyat.
Kedaulatan energi tidak bisa diartikan sebagai kekuasaan tunggal BUMN, melainkan kemampuan bangsa mengelola sumber dayanya dengan jujur, efisien, dan berpihak pada kepentingan publik.
Ketika BUMN yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru menjadi beban, di situlah kita perlu berani bertanya, untuk siapa sebenarnya negara ini bekerja? Jika kita terus menormalisasi kerugian triliunan rupiah sebagai “risiko wajar”, kita sedang membiasakan ketidakberesan dalam sistem.
Indonesia tidak kekurangan sumber daya, yang kurang hanyalah keberanian untuk jujur dan memperbaiki diri. Saatnya pemerintah, BUMN, dan masyarakat bersama-sama menuntut perubahan, bukan demi laba, tapi demi marwah bangsa yang layak disebut “makmur” tanpa paradoks.
Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi Tugas Mata Kuliah Kewarganegeraaan