BONARINEWS.COM – Pada 2024, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 yang memperbolehkan praktik aborsi dalam kondisi-kondisi tertentu, termasuk bagi korban pemerkosaan dan dalam kasus kedaruratan medis. Langkah ini diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang berada dalam situasi yang mengancam kesehatan dan keselamatan mereka.
Kondisi Aborsi Menurut PP 28 Tahun 2024
Menurut PP tersebut, aborsi hanya dapat dilakukan jika ada indikasi kedaruratan medis yang serius, seperti ancaman terhadap nyawa ibu atau kondisi kesehatan janin yang tidak memungkinkan untuk hidup di luar kandungan. Selain itu, aborsi juga diperbolehkan dalam kasus kehamilan yang disebabkan oleh tindak pidana perkosaan atau kekerasan seksual lainnya.
Dampak Kekerasan Seksual pada Korban
Terdapat hasil penelitian yang menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual setidaknya 1 dari 5 orang pernah melakukan percobaan bunuh diri. Kekerasan seksual dapat memberikan dampak negatif yang signifikan bagi korban, mencakup berbagai aspek dari kesehatan fisiologis, emosional, dan psikologis mereka.
Dampak Secara Fisiologis
Dampak secara fisiologis yang timbul pada korban kekerasan seksual, berupa insomnia, luka fisik, gangguan makan, tingginya risiko tertular penyakit seksual, dan juga efek negatif karena harus menerima situasi dari kehamilan yang tidak diinginkan
Dampak Secara Emosional
Sementara itu, secara emosional korban kekerasan seksual merasakan adanya perasaan malu, bersalah, dan juga penyangkalan atas situasi yang harus ditanggung sebagai akibat dari kekerasan seksual.
Dampak Secara Psikologis
Korban kekerasan seksual juga sering mengalami dampak negatif secara psikologis, termasuk kecemasan, penurunan harga diri, PTSD, simtom obsesif-kompulsif, dan depresi.
Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo, menjelaskan bahwa PP ini tidak hanya mengatur aborsi sebagai respons medis, tetapi juga menetapkan batasan waktu maksimal 6 minggu kehamilan untuk prosedur ini. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa keputusan aborsi didasarkan pada pertimbangan yang cermat dari segi medis dan moral.
Dalam implementasinya, PP ini mempersyaratkan adanya surat keterangan dokter mengenai usia kehamilan serta bukti-bukti yang menguatkan bahwa kehamilan merupakan akibat dari tindak pidana perkosaan. Persetujuan dari suami juga tidak selalu diperlukan, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan seksual.
Penegasan dari Anggota Komisi IX DPR
Anggota Komisi IX DPR, Rahmad Handoyo, menegaskan bahwa langkah ini penting untuk melindungi keselamatan perempuan dalam situasi-situasi darurat seperti ini. Ia menekankan pentingnya implementasi PP ini secara benar dan sesuai prosedur, guna mencegah penyalahgunaan kebijakan serta untuk memastikan bahwa hak-hak perempuan tetap terjaga dengan baik.
Dengan demikian, PP 28 Tahun 2024 bukan hanya sebagai instrumen hukum, tetapi juga sebagai wujud komitmen pemerintah dalam melindungi kesehatan dan hak-hak perempuan yang berada dalam kondisi yang memerlukan perlindungan ekstra. Langkah ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi perempuan Indonesia dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak terduga dan memerlukan tindakan medis yang tepat waktu.
Sumber bacaan :
- https://www.rri.co.id/editorial/2350/aborsi-untuk-korban-pemerkosaan-dan-kedaruratan-medis.
- https://nasional.kompas.com/read/2024/07/31/17260281/pp-kesehatan-bolehkan-aborsi-buat-korban-pemerkosaan
Sesca, M.E & Hamidah (2018). - Posttraumatic Growth Pada Wanita Dewasa Awal Korban Kekerasan Seksual. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, Vol. 7, pp. 1-13.
Penulis: Priskila Theodora