Oleh: Secillia Putri M A Sihombing
Di tanah Batak Toba, nama marga (klan) masih menjadi simbol kehormatan dan identitas. Di balik gegap gempita upacara adat dan kebanggaan garis keturunan, tersimpan kisah perempuan yang hidup di antara dua dunia: dunia yang menuntut mereka patuh, dan dunia batin yang terus mencari arti diri.
Di masyarakat Batak Toba, kelahiran anak laki-laki (selanjutnya cukup kita sebut Baoa) sering dianggap anugerah terbesar. Baoa menjadi penerus marga, simbol kehormatan, dan alasan perempuan mendapat penghargaan dari keluarga. Sebaliknya, perempuan yang hanya memiliki anak perempuan (boru) kerap dianggap “kurang lengkap”. Tekanan halus, komentar, bahkan cibiran menjadi beban yang menumpuk di hati mereka. Istilah “dang maranak” — tidak memiliki anak laki-laki — menjadi label sosial yang melekat, membuat perempuan merasa harga dirinya dipertaruhkan.
Seorang inang (ibu) di Balige, Kabupaten Toba menceritakan pengalamannya. Ia memiliki tiga boru yang cerdas dan berprestasi, tapi di mata sebagian orang, itu belum cukup. Setiap pertanyaan tentang anak membuatnya menunduk. Meski hatinya perih, inang itu tetap tersenyum dan diam-diam menyekolahkan ketiga borunya setinggi mungkin, berharap prestasi mereka membuktikan bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh gender.
Di balik harapan itu tersimpan perasaan campur aduk (ambivalen). Di satu sisi, inang ini ingin semua borunya merdeka dan mandiri. Di sisi lain, inang ini masih sering berkata, “Yang penting nanti menikah dengan baik.” Kalimat sederhana itu ternyata menyimpan warisan patriarki. “Menikah dengan baik” bukan hanya soal kebahagiaan, tapi juga tentang memenuhi ekspektasi sosial, menjaga nama keluarga, dan tetap berada dalam batas yang dianggap layak oleh masyarakat.
Ada cinta seorang ibu, tapi juga warisan ketakutan. Takut anak perempuannya mendapat stigma yang sama, takut mereka tidak dihargai jika hidupnya tidak sesuai harapan orang lain. Tanpa sadar, inang ini mewariskan lingkaran yang sama: berjuang agar anak-anak bebas, tapi tetap menilai kebahagiaan menurut ukuran yang dibuat sistem yang menekan mereka.
Lebih menyakitkan, ada kisah perempuan di Tapanuli yang dipaksa melahirkan enam anak demi mendapatkan seorang anak laki-laki (baoa). Ia kelelahan fisik, tertekan mental, bahkan nyaris kehilangan nyawa. Ketika anak baoa lahir, barulah posisinya dihargai. Tubuh perempuan dijadikan arena pertaruhan, harga dirinya ditentukan oleh gender anak baoa yang dilahirkan.
Fenomena ini bisa dijelaskan melalui konsep patriarchal bargain. Perempuan tidak sepenuhnya pasif, tapi menegosiasikan posisi mereka. Melahirkan anak baoa memberi status dan pengakuan, sementara gagal melahirkan anak baoa melemahkan posisi mereka. Inilah dilema perempuan Batak Toba: sekaligus ditekan, tapi juga mencari ruang pengakuan dalam sistem yang menekan itu.
Dilema ini juga tampak dalam pendidikan. Banyak ibu lebih memprioritaskan anak baoa sementara boru dianggap cukup jika nanti mendapat pasangan yang baik. Dengan begitu, boru menjadi korban sekaligus agen yang melanggengkan patriarki.
Ketidakadilan gender di Batak Toba bukan hanya dihasilkan oleh struktur sosial yang memihak laki-laki, tapi juga dilanggengkan melalui strategi perempuan sendiri. Setiap pilihan—menyesuaikan diri atau melawan—membawa konsekuensi. Menyesuaikan diri memberi pengakuan tapi mengorbankan kebebasan. Melawan membuka ruang kesetaraan tapi berisiko kehilangan posisi dalam keluarga dan masyarakat.
Perjuangan perempuan Batak Toba bukan sekadar antara menerima atau menolak. Ia adalah kondisi kompleks yang memaksa perempuan terus menegosiasikan identitas, posisi, dan hidup mereka. Perjuangan kesetaraan bukan hanya soal mengubah aturan adat, tapi juga membebaskan cara pandang yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski tekanan masih ada, harapan muncul dari langkah-langkah kecil. Ibu yang berjuang menyekolahkan borunya atau keluarga yang mulai menghargai boru setara anak baoa, adalah tanda perubahan bisa terjadi. Dari situ, benih kesetaraan tumbuh. Suatu hari, perempuan Batak Toba akan dihargai bukan karena gendernya, tapi karena kemanusiaannya. (*)
Secillia Putri M A Sihombing
Mahasiswi Program Studi S1 Antropologi Sosial FISIP USU