Penyalahgunaan Kekuasaan Penyelenggara Pemilu Lemahkan Demokrasi Berbasis Kepercayaan

Bagikan Artikel

Oleh: Florencia Irena Lie

Penyelenggara pemilu seperti KPU dan Bawaslu memegang peran penting dalam menjaga agar pemilu berlangsung langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Karena itu, integritas para penyelenggara adalah fondasi utama kepercayaan publik. Ketika muncul penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran etik di tubuh lembaga tersebut, kepercayaan masyarakat bukan hanya terganggu, tetapi juga dapat merusak legitimasi seluruh proses pemilu.

Penyalahgunaan kewenangan dapat muncul dalam banyak bentuk: penggunaan anggaran yang tidak transparan, pemanfaatan fasilitas negara untuk kepentingan kelompok tertentu, hingga perlakuan yang tidak setara dalam verifikasi peserta pemilu.

Praktik seperti ini tidak hanya melanggar standar profesionalitas, tetapi juga menciptakan kesan bahwa pemilu tidak lagi dijalankan secara independen. Akibatnya, hasil pemilu dapat dipandang tidak kredibel atau dianggap sarat kepentingan politik.

Dalam konteks demokrasi, pelanggaran etik internal penyelenggara adalah gangguan serius terhadap mekanisme checks and balances. Demokrasi berbasis kepercayaan mengandaikan bahwa penyelenggara pemilu harus netral, mandiri, dan tidak tunduk pada tekanan politik mana pun.

Jika mereka justru ikut bermain dalam kontestasi, maka prinsip “demokrasi oleh rakyat dan untuk rakyat” kehilangan landasannya. Lembaga yang seharusnya menjadi wasit berubah menjadi bagian dari permainan.

Salah satu contoh muncul di Kota Sorong, ketika Ketua KPU dan Kepala Bawaslu setempat dilaporkan ke DKPP terkait dugaan penyalahgunaan kekuasaan dalam pembubaran kegiatan pelantikan sebuah partai politik.

Kasus ini memperlihatkan bahwa pelanggaran etik bukan hanya persoalan internal lembaga, tetapi bisa berdampak langsung pada stabilitas politik daerah dan citra penyelenggaraan pemilu secara nasional.

Penanganan tegas terhadap kasus seperti ini penting agar penyelenggara tidak hanya bekerja dengan benar, tetapi juga terlihat benar di mata publik.

Secara keseluruhan, berbagai kasus penyimpangan menunjukkan perlunya penguatan akuntabilitas, transparansi, dan pengawasan di tubuh penyelenggara pemilu.

Tanpa integritas lembaga, kepercayaan masyarakat akan terus terkikis dan kualitas demokrasi ikut melemah. Pemilu yang kredibel hanya dapat terwujud jika penyelenggaranya bersih, netral, dan berada di atas semua kepentingan.

Penulis adalah Mahasiswa Program Psikologi, Universita Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *