Oleh: Pretty Luci Lumbanraja
Pertengkaran antara aku dan sang kekasih membuat aku seolah-olah selalu dikuntit oleh ratusan orang yang berbeda.
BERULANG-ULANG KALI DANIL memperbaiki kedamaian hubungan kami, namun aku masih enggan menerima. Caranya itu tidak ramah. Ia sangat berlebihan. Hanya perkara hal sepele, ia membabi buta. Katanya, semua itu dilakukan karena sanking sayangnya padaku. Segitunya sampai dia menyuruhku pulang sendirian. Menyusuri gelap dan dinginnya malam.
Aku pergi menyusuri malam sambil menangis tersedu-sedan. Beberapa saat yang lalu, ia bangkit dan menemuiku tidak jelas. Kemudian, melangkah pergi dan terus berjalan. Sejam lebih aku menunggu, sampai dia kembali. Namun, dia benar-benar pergi meninggalkanku. Tak lama selang pertengkaran kami, dia menyuruhku untuk menemuinya di bawah. Aku sangat kecewa. Jadi kuabaikan saja semua panggilan dan pesannya itu. Kuambil bantal dan kututup telingaku, saat ponsel itu berdering tanda panggilan darinya.
Gorden kamar berhembus diterpa angin malam. Kilat menyambar kuat. Lampu kamar padam karena sekring listrik melompat. Lima menit setelah aku siap membuka mata, aku cek kembali ponsel. Aku benar-benar sudah terlelap sedari tadi Danil terus menghubungiku. Sudah tidak sekali dia memperlakukanku seperti ini sehingga layak untuk diabaikan sekelumit ini. Apa yang lebih enak dari hubungan ini? Tentu saja pertengkarannya. Berulang kali terjadi untuk berulang kali dimaafkan. Kesabaranku atas keegoisannya mulai memuncak. Tak bisa kudiamkan sikapnya yang terlalu posesif itu.
Aku melompat bangun dan memastikan bahwa dia tidak menunggu lagi di bawah. Tidak mungkinlah, hujan deras malam ini dia masih menunggu di bawah. Lagi pula bapak penjaga kosan pasti sudah menutup gerbang paling lama pukul 00.00. Aku diam, tenang-tenang sambil melahap makanan apa yang ada di dalam kamar. Meski aku tetap khawatir keadaannya karena sudah tiga jam dia menunggu sejak panggilan terakhir di pukul 01.00 WIB.
Ketenangan sudah menjadi sumber kekuatan. Pelan-pelan aku menuruni satu, dua anak tangga. Takut suatu ketika dia datang menghujam dan menyakitiku lebih lagi. Biasanya dia pasti menunggu di bawah karena akan mengantarku pergi bekerja. Namun, aku tidak mendapatinya. Pagi ini juga dia tidak menghubungiku lagi. Aku sedikit lega meskipun rada khawatir apakah dia jatuh sakit karena berjaga semalaman.
Sesampainya di kantor, aku masih kepikiran namun harus fokus bekerja. Tiba-tiba seorang pengantar minuman datang menemuiku dan memberikan kopi permintaan maaf. Jenis kopi dan takaran gula yang biasa kupesan. Ternyata kopi itu ditujukan untuk rekan kerja timku. Bukan kepadaku. Meskipun benar-benar untukku, aku pun masih mempertimbangkan untuk memaafkannya. Tidak semudah itu. Sampai waktu menjelang makan siang, Danil tetap tak kunjung menghubungiku.
Sore menuju petang. Pintu ruanganku diketuk. “Maaf Bu Sara, ini payung Mba yang ketinggalan di posko satpam waktu itu.”
“Eeee, hmmm. Iya, benar.” Barangkali benar. Aku memang sedang membutuhkan payung saat ini.
“Sebentar lagi akan hujan deras, Mba. Jangan sampai terkena hujan, ntar sakit, hehhehe.”
“Baik, terimakasih ya, Pak.” Kataku masih dengan sekelumat pertanyaan. Kapan terakhir kali aku menggunakan payung ini? Memang benar ini adalah payungku. Namun, aku menggunakannya beberapa hari lalu? Atau saat itu kutinggalkan di kamar? Bagaimana bisa? Tidak mungkin? Aku benar-benar lupa.
Malam itu aku menyusuri jalanan yang sudah sepi. Hujan menyisakan rinai-rinainya. Aku berani beranjak untuk melihat diriku saat itu yang berlari-lari dirundung kekecawaan karenanya. Aku melewati penyeberangan tanpa melihat sekeliling yang membahayakan, jalan terus sepanjang jalan.
Aku bayangkan dia pergi lebih dulu bersama teman-temannya, kemudian bercokol riang di warung kopi dengan pembahasan gim online yang tidak berguna. Tapi sepenuhnya diriku tidak melesat keluar dari tubuhku. Aku juga terus melihat ke belakang sambil memastikan dia terus menjagaku dari kejauhan.
Kami bertahan dengan sikap egois masing-masing. Sampai besok pagi, aku mengatur waktu menikmati udara pagi kota. Angin semilir mengelilingi kota. Pohon-pohon berlambaian belomba melempar dahannya yang sudah tua. Biasanya saat pekan, kami sempatkan waktu untuk jalan pagi bersama. Sambil bergandengan tangan kami menyusuri satu per satu bagian kota. Tidak peduli siapa saja yang melihat.
Orang-orang dengan para anabulnya ikut berjalan pagi. Para tunawisma yang masih mendengkur di sudut-sudut taman.
Kami sungguh menikmati waktu berdua. Membuat siapapun iri melihatnya. Saat lelah kami duduk sebentar, saling bercerita tentang pengalaman lama. Mulai dari peliknya di pekerjaan hingga rencana makanan apa yang akan dicoba. Banyak juga ceritanya, aku suka antusiasnya yang mau mendengar. Semua yang sedih hingga kadang-kadang yang lucu.
Kesukaannya pada lelucon yang dibuat dengan menabrakkan komedi dan tragedi berdasarkan realitas yang terjadi. Terkadang, aku ingin menulis kembali cerita-cerita yang pernah diungkapkannya. Untuk membuat cadangan atas ingatanku yang terus tercedera.
Mengingat itu pun, air mata mulai membasahi pipiku. Kenyataannya aku mulai lupa dengan kisah-kisah itu. Ditambah aku tidak mampu menulis sama sekali. Yang tersisa hanya ingatan buruk tentangnya. Terlalu mengekang, pecemburu, egois, keras kepala, dan tidak mau mengalah. Aku melangkah terus dengan hati hampa.
Tanpa kusadari seorang lelaki terus menguntitku sedari tadi. Usianya masih muda dan sepantaran dengan dia. Aku memperlambat langkahku, demikian dia. Aku jadi tergagap dan takut sewaktu-waktu dia menyakitiku. Seperti kasus kejahatan pada perempuan yang marak terjadi belakangan ini. Aku coba sedikit menoleh. Topi dan masker menutupi wajahnya.
Terlalu subuh aku melangkah keluar menyusuri taman kota masih sepi ini. Hanya aku dan pemuda di belakang yang tampak mengikutiku ini sedari tadi. Aku mulai melangkah cepat, dia pun demikian. Gerak-geriknya sungguh mencurigakan. Suara earphone pun mulai kusenyapkan, berjaga-jaga jika kondisi datang mengancam. Aku coba melangkah dengan tenang, tetapi dia tidak mendahuluiku.
Begitu berjalannya waktu hingga matahari mulai menunjukkan diri. Semuanya tidak seburuk yang aku pikirkan. Pria yang berada di belakangku tadi bukan bermaksud jahat. Barangkali dia pun sedang merasa gundah-gulana sama seperti ku yang mencoba memulihkan pikiran bersama alam sehabis bercokol dalam prahara hubungan.
Aku lelah dan terduduk di bangku taman. Tiba-tiba seorang perempuan datang menghampiriku. Perempuan itu tersenyum lembut sambil menatap matanya sendiri dari bola mataku. Di dalam mataku jelas terpancar kisah yang tidak bisa kusembunyikan.
Kemudian, ia menawarkan sebuah minuman penyegar sambil berkata, “Ayo tersenyum, dia amat menyayangimu.” Kemudian perempuan itu pergi dan menawarkan kepada pengunjung taman yang lain. Memang tak jauh dari itu ada sekelompok orang yang sedang menawarkan produk minuman terbaru mereka. Aku termenung lagi.
Mataku itukah kata hatiku sesungguhnya? Aku yang tampak ragu-ragu kenyataannya sungguh merindukannya. Ternyata, aku yang ingin minta dikasihani pada saat pertahanan diriku tak mampu membendung lagi. Sudah seminggu ini tidak ada kabar darinya.
Namun hatiku terus berbisik, selalu ada yang tersisa tentangnya. Kemanapun, dimanapun seperti selalu ada yang menjagaku. Bahkan, saat berhadapan dengan orang lain pun tidak ada perlakuan asing selain senyuman yang hangat menjadi obat buat hati yang masih sedih.
Kemudian aku menggeleng keras, tidak mungkin orang-orang itu menguntitku. Aku berusaha mengusir fantasi yang tidak berguna. Kopi, payung, pria penguntit, perempuan yang tersenyum, paket makanan dengan sekuntum mawar merah, hingga kejanggalan-kejanggalan aneh selama seminggu terakhir ini yang tidak masuk akal.
Pintu kamar tak lama diketuk setelah aku terlelap beberapa menit. Ibu penjaga kos datang membawakan paket makanan yang kupesan. Sudah hampir sejam makanan yang kupesan tidak kunjung diambil. Di dalam kantung makanan itu, terdapat sekuntum bunga mawar misterius lagi. Tidak mungkin penjual makanan sedang mengadakan event bagi-bagi bunga lagi. Aku sebetulnya sadar, warna merah tidak cocok untuk diriku yang bukan seorang pemberani.
“Terimakasih, Bu. Apa benar bunga mawar ini dari pengantar makanannya?”
“Maaf, Mba. Saya tidak tahu. Saya hanya disuruh saja ini, Mba. Setiap mba memesan makanan, agak diselipkan bunga mawar”
“Tapi saya tidak suka mawar merah, Bu. Siapa yang kasih?”
“Maaf, Mba. Saya hanya disuruh sama anak cowok yang ngaku-ngakunya pacar, Mba.”
“Terus dia dimana sekarang?”
“Tadi sempat pulang, Mba. Tapi biasanya dia di bawah nungguin, Mba.”
“Biasanya?”
“Setiap malam, Mba. Bahkan, sehabis Mba pergi bekerja untuk memastikan, Mba.”
“Selama ini Ibu kasih tahu ke dia tentang aktivitas saya?”
“Nda semuanya, Mba. Saya juga nda berani. Cuman dia sudah minta tolong sekali. Katanya sedang berkelahi sama, Mba. Mau minta maaf enggan.”
“Bu, tolong lain kali kasih tahu sama saya ya, Bu. Kita gak tahu besok-besok, entah siapa, entah orang asing yang niatnya gak baik, Bu.”
“Maaf ya, Mba. Saya percaya lantaran dia nunjukkin foto dia sama, Mba.”
Aku melirik jam dinding dan tersenyum dalam hati. Tak lebih dari lima belas menit setelah aku mengetahui kebenarannya, aku menyusun strategi untuk menguntitnya kembali. Aku mengawasinya dari jauh tepat dimana dia duduk bercokol dengan para bapak penjaga kos.
Semburat cahaya lampu ruangan menerangi pandanganku pada sosok yang sangat kurindu. Hanya bagian kiri wajahnya saja yang terlihat jelas. Kapan terakhir aku melihatnya lebih dekat? Pun selama ini kami selalu bertengkar pada hal-hal yang sepele. Air mataku mulai membendung.
Kudengar bapak para penjaga kosan saling berseloro menunjukkan sisi humoris mereka. Kulihat sesekali dia tersenyum meski hatinya pasti menggerutu. Ringan sekali kakinya bisa setiap malam mengawasi gerak-gerikku dari jauh. Ia pasti tidak sungguh-sungguh. Sudah berapa gim online dia korbankan? Atau berkas-berkas yang menumpuk di atas meja kerja?
Saat asyik bercanda ria, tiba-tiba ia menoleh ke arah aku yang sedang berjaga dari kejauhan. Mata kami saling menatap sesaat, kemudian dia menoleh ke arah yang lain. Tak lama dia undur diri tanpa berkata banyak. Kemudian pergi begitu saja. Sejurus aku merasa ragu, apakah dia sungguh-sungguh menyesal selama ini, tanpa berusaha menghubungiku lagi secara langsung.
Ia muncul begitu saja dan pasti seperti biasa. Egois serta keras kepala. Aku ke atas dan masuk ke dalam kamar. Air mata yang tadi membanjiri pipiku. Mungkin ini lah akhir dari hubungan kami. Semuanya menuju akhir.
Sudah tiga puluh menit dan kata-kata dalam pikiranku berhenti. Kuterima pesan darinya.
“Maafkan aku, sayang.”
Aku terhenyak. Kemudia turun dan langsung memeluknya. Di ujung jemarinya itu kulihat dia sedang memegang sekuntum mawar merah yang tidak pernah kusuka. (*)
*Penulis adalah Cerpenis dan bergiat dalam Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen) .