Oleh: Jeremia Rafael Simamora, Mahasiswa Prodi Antropologi Sosial USU
KOTA MEDAN BERKEMBANG PESAT. Seiring dengan itu restoran dan café juga bertumbuh dimana-mana. Mereka menyediakan beragam makanan yang gurih, dan suasana yang sangat menyenangkan.
Kerap kali kita menemukan restoran yang menyajikan makanan dan minuman yang memang menggugah selera. Para pemilik restoran telah bersusah payah memikirkan sajian yang akan memberikan kenikmatan kepada pengunjung, namun suasana tersebut terkadang menjadi tidak nyaman. Apa pasal?
Kehadiran pengemis yang berlalu-lalang. Siapa mereka? Secara sederhana, pengemis adalah orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta dimuka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharap belas kasihan orang lain.
Pengemis kebanyakan adalah orang yang hidup menggelandang (tidak memiliki tempat tinggal). Mereka hadir di lampu lalu lintas, terminal, halte bus, bahkan restoran. Berdasarkan pengalaman saya, ironisnya, kebanyakan pengemis yang saya jumpai termasuk ke dalam golongan orang yang terlihat sehat jasmani maupun rohaninya.
Jadi, apa yang menyebabkan mereka mengemis? Beberapa faktor menjadi penyebab hadirnya pengemis. Menurut penelitian Tateki dkk (2009) faktor-faktor tersebut diantaranya tidak mampu bekerja, tidak punya modal usaha, tidak punya keterampilan, tidak punya pilihan lain, dan menariknya, ada yang lebih suka menjadi pengemis.
Harus diakui jika beberapa pengemis memang meminta-minta demi kelangsungan hidup. Tetapi, seperti yang saya lihat, banyak juga pengemis yang meminta-minta untuk membeli sesuatu yang tidak sesuai dengan kebutuhan.
Suatu waktu di sebuah restoran, ada seorang pengemis laki-laki yang datang menjumpai saya. Ia berkata “Bang, boleh sedekahnya, bang,” pintanya. Saya menolak secara halus dan mengatakan bahwa saya tidak memiliki uang cash. Pengemis tersebut melirik rokok yang ada di meja makan saya, lalu mengatakan “Kalau begitu, boleh bagi rokok-nya, bang?” ucapnya.
Saya dan teman yang saat itu saling melirik satu sama lain dan akhirnya memberikan satu batang rokok kepada pengemis tersebut. Pengemis tersebut lebih memilih rokok sebagai pengganti uang. Pengalaman tersebut tidak hanya terjadi sekali pada saya maupun teman saya.
Begitu pula dengan pemilik restoran yang sering sekali “disinggahi” para pengemis. Para pemilik maupun karyawan restoran kerap kali merasa terganggu akan kehadiran pengemis tersebut. Bukan apa-apa, selain memberikan aroma yang tidak sedap, pada pengemis juga sering kali mengambil makanan yang dihidangkan di meja makan konsumennya dan pergi begitu saja tanpa membayar makanan yang diambilnya.
Salah seorang pemilik warung makan yang pernah saya jumpai mengatakan, banyak pengemis yang mengganggu dan membuat orang yang menikmati hidangan di tempat tersebut merasa tidak nyaman. Bahkan, beberapa kali makanan berupa sate kerang, sate telur, dan sate usus dicuri dari meja makan tersebut oleh pengemis yang mengenakan pakaian tidak pantas.
Pembeli yang mengalami hal tersebut merasa tidak enak hati karena gagal menjaga makanan tersebut dari pengemis sehingga pembeli tersebut mengambil itikad baik dengan berinisiasif untuk membayar kerugian yang telah dilakukan oleh pengemis tersebut.
Sementara pihak restoran pun tidak menagih hal tersebut kepada pembelinya dan tidak menyalahkan pembeli tersebut akan hal yang terjadi. Lalu, apakah mengemis diperbolehkan?
KUHP Pasal 504 dan 505 menyebutkan, tindakan menggelandang dan mengemis adalah tindakan pelanggaran terhadap ketertiban umum. Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis Pasal 504 dan 505 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan menyatakan, perbuatan gelandangan dan pengemis dapat dihukum dengan pidana kurungan.
Sebaliknya dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara serta negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Jadi, terjadi kontroversi atas kasus pengemis ini, akibat berkembangnya dinamika masyarakat mengenai problema pengemis. Inilah dilema perkotaan, khususnya di Kota Medan. Di satu sisi, berkembanglah dengan luar biasanya sarana menikmati kenyamanan berupa restoran dan sejenisnya.
Ini jelas memberikan pemasukan bagi Kota Medan. Namun di sisi lain, ada problema sosial yang tidak mudah diatasi tetapi semakin mengganggu jika dibiarkan. Pemerintah seharusnya bisa lebih ketat lagi dalam segi pengamanan pengemis terlebih lagi jika sudah mulai mengganggu kenyamanan dan keamanan masyarakat.
Pengemis juga bisa diasah skillsnya dan dipekerjakan oleh pemerintah. Mereka dapat diajarkan menjahit, menganyam, dan mengasah skills dalam membuat suatu karya hasil tangan lainnya.
Jika mereka setelah diberikan skills, masih melakukan perilaku yang sama, maka apa boleh buat, tindakan tegas harus dilakukan. Sampai kapan ruang kenyamanan kita diganggu oleh para pengemis?