Medan, Bonarinews – Pesta demokrasi 14 Februari 2024 kemarin di Medan menyisakan cerita pahit bagi penyandang disabilitas, khususnya pengguna kursi roda.
Marliana Sihombing, seorang pemantau dari Pusat Pemilihan Umum Akses Disabilitas (PPUAD) Bawaslu RI untuk Sumatera Utara, menceritakan pengalaman pahit yang dihadapi para penyandang disabilitas fisik seperti dirinya.
Meskipun berjuang untuk memantau 5 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di Medan, Marliana menghadapi persoalan serupa seperti pemilu yang lalu-lalu. “Saya merasa sangat kecewa. Sebelumnya, saya telah menyampaikan kebutuhan akan ukuran meja yang sesuai untuk kursi roda kepada petugas KPPS. Namun, saat Pemilu, ukuran meja masih tidak sesuai, padahal sudah saya ingatkan berkali-kali,” keluh Marliana saat dihubungi, Jumat (16/2/24).
Tak hanya itu, Marliana juga menceritakan tentang kurangnya pemahaman para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) terkait undang-undang aksesibilitas TPS bagi penyandang disabilitas. Meskipun para petugas KPPS sudah mengikuti sosialisasi Bawaslu Sumut dan KPU Sumut, Marliana merasa kecewa karena tidak ada jawaban yang memuaskan terkait sanksi bagi petugas KPPS yang tidak menyiapkan TPS sesuai standar aksesibilitas.
“Penting untuk diingat, undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang disabilitas sangat menjamin agar petugas memudahkan bagi penyandang disabilitas dalam menyalurkan hak suaranya. Namun, saya ingin tahu apa sanksinya bagi petugas yang tidak mematuhi undang-undang tersebut,” tegas Marliana.
Pengalaman pahit yang dituturkan oleh Marliana mencerminkan realitas yang jamak dihadapi penyandang disabilitas saat mereka berusaha turut berpartisipasi dalam pesta demokrasi lima tahunan. Dari meja kotak suara yang terlalu tinggi hingga pintu masuk TPS yang sempit, juga pendirian TPS di area terbuka dan tak ramah saat hujan, Marliana mengekspos tantangan nyata yang dihadapi para penyandang disabilitas.
Berikut ini beberapa fakta yang ditemukan Marliana ketika memantau jalannya pemilihan di lima TPS pada pemilu kemarin. Pertama, meja tempat meletakkan kotak suara sangat tinggi dari tanah, seperti ditemukan di TPS di TPS 064, TPS 67, TPS 098, dan TPS 042.
Kemudian, pintu masuk ke TPS menuju bilik suara sangat sempit, seperti di TPS 064, TPS 042, TPS 67, TPS 038, dan TPS 098.
Berikutnya, TPS dibangun di ruang terbuka sehingga kalau hujan mengganggu pemilih seperti di TPS 064, TPS 67, TPS 038, TPS 098.
Kemudian, TPS dengan lantai berbatu-batu seperti di TPS 064, TPS 67, dan TPS 038.
Selanjutnya, disabilitas juga harus mengalami antrean saat hendak menyalurkan hak suaranya seperti di TPS 064, TPS 067, TPS 042, TPS 098, dan TPS 038.
Terakhir, meja tempat nyoblos ada palang tidak bisa kursi roda masuk, seperti di TPS 064, TPS 67, TPS 038, TPS 098, dan TPS 042.
Muhammad Yusuf, Ketua Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sumatera Utara, turut angkat bicara mengenai masalah ini. Ia mengecam kurangnya aksesibilitas TPS bagi pemilih disabilitas dan menuntut perbaikan segera.
“Dalam pemilu kemarin, banyak sekali TPS yang tidak aksesibel bagi para pemilih disabilitas. Hal ini sangat mengkhawatirkan kami sebagai penyandang disabilitas. Kami berharap pihak penyelenggara, baik KPU maupun Bawaslu, segera melakukan perbaikan dan menjamin aksesibilitas bagi semua pemilih,” ungkap Yusuf.
Meskipun menyoroti ketidakramahan TPS, Yusuf juga memberikan apresiasi atas pelaksanaan Pemilu yang kondusif, aman, dan tentram. Namun, ia menegaskan perlunya pembelajaran dari pengalaman ini untuk memastikan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang akan datang lebih inklusif dan aksesibel bagi semua warga negara. (BN-01)