PSSI kembali mengganti pelatih Timnas. Kali ini, giliran Patrick Kluivert yang harus angkat kaki setelah hampir setahun menukangi skuad Garuda. Seperti déjà vu, publik kembali dihadapkan pada babak lama dalam buku yang sama: harapan besar, hasil yang tak seindah impian, lalu pemecatan cepat. Pertanyaannya, kapan sepak bola Indonesia benar-benar belajar dari masa lalu?
Sudah terlalu sering pelatih menjadi kambing hitam, seolah semua masalah berhenti di kursi pelatih kepala. Padahal, akar persoalannya jauh lebih dalam — menyangkut sistem pembinaan, tata kelola, dan budaya kompetisi yang belum sehat. Dari Shin Tae-yong hingga Kluivert, pola yang sama terus berulang: euforia sesaat, ekspektasi tinggi, dan reaksi spontan ketika hasil tak sesuai harapan.
PSSI seharusnya tidak lagi berpikir pendek. Jika ingin prestasi yang berkelanjutan, maka yang perlu dibenahi bukan hanya taktik, melainkan fondasi sepak bola nasional. Kompetisi usia muda masih belum mapan, infrastruktur banyak yang tertinggal, dan profesionalisme klub masih menjadi pekerjaan rumah besar. Dalam situasi seperti ini, mengganti pelatih hanya seperti menambal ban bocor tanpa memperbaiki rodanya.
Kinerja pelatih harus dinilai dengan jujur — bukan sekadar dari hasil pertandingan, tetapi dari arah dan filosofi permainan yang sedang dibangun. Sayangnya, evaluasi di sepak bola Indonesia sering kali reaktif, bukan reflektif. Keputusan diambil berdasarkan tekanan publik dan politik, bukan strategi jangka panjang. Akibatnya, regenerasi pemain terganggu, konsistensi hilang, dan kepercayaan publik semakin menipis.
Kluivert mungkin sudah pergi, tetapi persoalan sepak bola kita masih tertinggal di tempat yang sama. Publik tidak lagi menuntut keajaiban instan; yang mereka butuhkan adalah arah yang jelas, konsistensi, dan keberanian PSSI untuk berubah. Prestasi besar tak akan lahir dari keputusan tergesa, melainkan dari sistem yang dibangun dengan kesabaran dan integritas.
Pada akhirnya, persoalannya bukan siapa pelatih berikutnya, tapi apakah kita sudah benar-benar belajar dari semua kegagalan sebelumnya. Karena tanpa kesadaran itu, setiap pergantian pelatih hanya akan menjadi bab baru dalam drama lama yang tak pernah berakhir.