OTT Wamenaker: Integritas Rapuh di Balik Jabatan Tinggi

Bagikan Artikel

Oleh: Harmada Sibuea*

“Kekuasaan tanpa integritas hanyalah jalan pintas menuju krisis kepercayaan.”

Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, mengejutkan publik. Ironisnya, Presiden Prabowo berkali-kali menegaskan sikap zero tolerance terhadap korupsi dan berjanji akan menghajar siapapun pelakunya. Bahkan, Immanuel sendiri pernah berujar bahwa ia muak terhadap koruptor. Kontras inilah yang membuat kasus ini begitu dramatis: seorang pejabat yang seharusnya menjadi bagian dari garda depan pemberantasan korupsi justru terjerat praktik yang ia sendiri pernah kecam.

Kasus ini tentu akan berjalan di ranah hukum. Namun, bagi saya sebagai seorang yang menaruh perhatian pada ethical leadership, masalah ini jauh lebih dalam dari sekadar pasal pidana. Ini adalah cermin rapuhnya fondasi kepemimpinan: ketika jabatan dilihat sebagai celah, bukan amanah; ketika kekuasaan dijalankan tanpa integritas.

Empat Pilar yang Dikhianati

Dalam kerangka ethical leadership, ada empat pilar utama yang seharusnya menjadi pegangan setiap pemimpin, baik di pemerintahan maupun korporasi:

  1. Integritas – bertindak benar, meski tidak ada yang melihat.
  2. Akuntabilitas – mengambil tanggung jawab sebagai pejabat publik, bukan sebaliknya menjadikannya untuk kekayaan pribadi.
  3. Keteladanan – menjadi contoh ketaatan pada hukum dan kejujuran.
  4. Transparansi – keterbukaan yang membangun kepercayaan, bukan formalitas.

Seorang pemimpin yang gagal menjaga pilar-pilar ini tidak hanya mempertaruhkan reputasi pribadinya, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap institusi yang diwakilinya -bahkan institusi pemerintah secara umum. Ironisnya, bagi publik kepercayaan itu mahal. Sekali hilang, sulit untuk dipulihkan.

Ironi Kepemimpinan

Kasus ini sekaligus mengingatkan kita pada ironi terbesar dalam kepemimpinan: banyak pemimpin tahu apa yang benar untuk dikatakan, tetapi gagal menjalankannya dalam tindakan nyata. Immanuel bisa dengan lantang mengatakan muak terhadap korupsi, -bahkan meminta koruptor dihukum mati, tetapi akhirnya terjerat dalam perangkap yang sama.

Warren Buffett pernah berujar: “It takes 20 years to build a reputation and five minutes to ruin it.” Itu juga yang dialami Immanuel. Karir yang dia bangun bertahun-tahun, runtuh hanya dalam hitungan jam.

Bagi seorang pemimpin publik, keruntuhan reputasi bukan hanya soal dirinya, tetapi juga menyangkut martabat institusi dan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap negara.

Tanggung Jawab Kolektif

Kita bisa melihat kasus ini sebagai pengingat pahit: sistem sekuat apa pun tidak akan berfungsi jika dijalankan oleh pemimpin yang rapuh secara moral. Karena itu, membangun kepemimpinan etis bukanlah tugas satu orang, melainkan tanggung jawab kolektif: partai politik, institusi, masyarakat sipil, bahkan dunia usaha.

Pertanyaan yang layak kita renungkan adalah: pilar mana dari empat fondasi kepemimpinan etis yang paling sulit kita jaga konsistensinya?

Jawaban atas pertanyaan itu bisa menjadi titik awal perbaikan, sebelum kita kembali kehilangan kepercayaan pada pemimpin berikutnya. Masih ada waktu untuk membangunnya!

*Expert Kebijakan Publik dan Transformasi Organisasi

One thought on “OTT Wamenaker: Integritas Rapuh di Balik Jabatan Tinggi

  1. OTT KPK ini tidak mengejutkan publik atau masyarakat. Sudah banyak menteri-menteri sebelumnya juga yang terjerat. Kalau kpk lebih masif, mandiri dan independen bergerak, pasti banyak pemimpin-pemimpin politik, institusi-lembaga bahkan organisasi terjerat lagi. Peringkat korupsi kita juga masih nomor tertinggi di dunia bro

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *