Tapanuli Utara, Bonarinews.com — Natal tahun ini dirayakan dengan cara berbeda di Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara. Tak ada kemeriahan berlebihan, tak pula perayaan yang hingar. Yang hadir justru kesederhanaan, pengharapan, dan ingatan kolektif akan bencana banjir dan tanah longsor yang melanda wilayah ini sebulan sebelumnya, pada 25 November 2025.
Di Gereja HKPB Parsingkaman, Desa Pagaran Lambung 1, Badan Nasional Penanggulangan Bencana bersama Sekretariat Bersama Gerakan Oikumenis untuk Keadilan Ekologis Sumatra Utara merayakan Natal bersama 1.200 anak penyintas bencana. Tema yang diusung mencerminkan semangat itu: Anak-Anak Terang yang Tetap Kuat di Tengah Bencana.
Natal kali ini tak sekadar ibadah. Ia menjadi ruang pemulihan, sekaligus ruang belajar. Pastor Walden Sitanggang yang memimpin perayaan menuturkan bahwa bencana banjir dan longsor telah membuka mata banyak orang tentang kerusakan lingkungan yang nyata. Karena itu, Natal dijadikan momentum untuk menanamkan kesadaran ekologis sejak dini, bukan hanya mengulang ritual seremonial tahunan.
Pesan-pesan kepedulian lingkungan disampaikan dengan cara yang dekat dengan dunia anak-anak. Lagu-lagu dinyanyikan bersama, teater boneka dimainkan, dan cerita-cerita sederhana disampaikan tentang bumi yang perlu dijaga. Anak-anak diajak memahami bahwa kabar suka cita Natal juga berarti merawat ciptaan: tidak membuang sampah sembarangan, tidak menebang pohon seenaknya, mengurangi penggunaan air minum kemasan, dan membawa wadah minum sendiri.
Unsur pengarah BNPB, Viktor Rembeth, yang hadir mewakili Kepala BNPB, menyebut perayaan Natal ini sebagai simbol solidaritas dan pengharapan bagi anak-anak terdampak bencana. Pemerintah, katanya, tidak hanya hadir pada fase tanggap darurat, tetapi akan terus mendampingi hingga proses pemulihan berjalan tuntas. Pada kesempatan itu, BNPB turut membagikan 1.000 bingkisan Natal untuk anak-anak.
Bagi masyarakat Nasrani, Natal adalah peringatan kelahiran Kristus sang Juru Selamat. Dalam bencana yang melanda Tapanuli Utara, makna itu terasa hidup dalam wujud nyata. BNPB mencatat setidaknya dua kisah warga Adiankoting yang menjadi “juru selamat” bagi sesamanya karena kepekaan membaca tanda-tanda alam.
Di Desa Dolok Nauli, seluruh warga berhasil menyelamatkan diri berkat kesiapsiagaan Hutahuruk, seorang warga yang tinggal di tepi jalan raya berhadapan langsung dengan bukit. Malam itu, hujan turun sangat lebat. Dari teras rumahnya, ia mendengar suara gemuruh yang tak biasa. Ketika air mulai mengalir deras di depan rumah dan rekahan terlihat di dinding bukit, ia segera mengajak istrinya keluar.
Teriakannya untuk memperingatkan tetangga tenggelam oleh derasnya hujan. Hutahuruk lalu mengambil tumpukan kayu bakar dan melemparkannya ke rumah-rumah tetangga agar mereka keluar. Warga pun terbangun dan bergegas menyelamatkan diri ke Gereja Lobukpining. Keesokan paginya, rumah-rumah di desa itu hancur diterjang kayu besar, batu, dan lumpur. Namun, tak satu pun nyawa melayang.
Kisah serupa datang dari Desa Pagaran Lambung 1. Castle Sianipar, pendeta HKPB Parsingkaman, pada malam kejadian mendengar suara air bah dan mencium bau lumpur di tengah hujan deras dan listrik padam. Dengan senter, ia melihat aliran air deras meluncur tepat di depan rumah menuju permukiman warga.
Tanpa menunggu, Castle membunyikan lonceng gereja berulang kali—empat kali hingga menjelang pagi. Bunyi lonceng yang tak lazim membangunkan warga dari tidur mereka. Warga pun mengevakuasi diri menembus genangan air menuju gedung SMP Negeri 5 Pagaran Lambung 1 yang lebih aman.
Dua kisah itu menjadi pelajaran penting bahwa mengenali risiko dan tanda-tanda bencana adalah keterampilan hidup yang harus dimiliki setiap orang. Dari pengalaman banjir dan longsor di Sumatra dan Aceh, BNPB kembali mengingatkan masyarakat untuk selalu waspada, terutama di musim hujan.
Pemerintah daerah dan warga diimbau meningkatkan kesiapsiagaan terhadap ancaman banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem. Langkah sederhana seperti memangkas pohon rapuh, memeriksa kekuatan bangunan, menyimpan dokumen penting di tempat aman, menyiapkan tas siaga bencana untuk kebutuhan tiga hari, serta memantau prakiraan cuaca dari sumber tepercaya menjadi bagian dari upaya itu. Jika hujan deras berlangsung lebih dari satu jam, evakuasi ke tempat aman harus segera dipertimbangkan.
Di Adiankoting, Natal tahun ini tak hanya menghadirkan doa dan nyanyian. Ia juga meninggalkan pesan sunyi namun kuat: tentang menjaga alam, tentang kesiapsiagaan, dan tentang kemanusiaan yang saling menyelamatkan di tengah bencana. (Redaksi)