Pemilu adalah momen yang seharusnya merayakan esensi demokrasi, di mana setiap warga negara dapat ikut serta dalam menentukan arah negaranya. Namun, bagi pemilih disabilitas fisik seperti Marliana Sihombing, perjalanan menuju bilik suara seringkali penuh dengan tantangan dan hambatan.
Marliana Sihombing, seorang pemilih dengan disabilitas fisik, menjadi representasi dari realitas pahit yang dihadapi banyak pemilih sejenisnya. Pada Pemilu 2024, Marliana harus berhadapan dengan keterbatasan aksesibilitas fisik di tempat pemungutan suara. Bagi Marliana, tangga menjadi penghalang utama, mempersulitnya untuk mencapai bilik suara.
Meski undang-undang menetapkan standar aksesibilitas, implementasinya seringkali masih jauh dari harapan. Marliana menjadi korban ketika sistem pemilu tidak mampu menfasilitasinya untuk menyalurkan hak pilihnya tanpa hambatan. Ini realita pahit. Komunitas pemilih disabilitas fisik di seluruh negeri menghadapi tantangan besar soal inklusivitas dalam pemilu.
M Yusuf, Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Sumatera Utara, memberikan suara untuk memperjuangkan hak-hak Marliana dan sesama pemilih disabilitas. Dalam pernyataannya, M Yusuf menyoroti perlunya kesadaran akan kebutuhan khusus pemilih disabilitas fisik.
“Kami butuh dukungan penuh dari semua pihak, termasuk pemerintah, untuk memastikan setiap pemilih, tanpa terkecuali, dapat merasakan hak konstitusionalnya untuk memilih,” ujar M Yusuf. “Kami membutuhkan infrastruktur yang lebih baik, pelatihan petugas pemilihan untuk memahami kebutuhan kami, dan kebijakan yang menguatkan inklusivitas.”
Pentingnya memahami dan mengeksplorasi pengalaman Marliana dan suara M Yusuf tidak hanya dalam rangka meningkatkan aksesibilitas fisik, tetapi juga untuk merayakan kontribusi berharga pemilih disabilitas fisik dalam membangun demokrasi yang lebih inklusif. Pemilu seharusnya menjadi panggung kesetaraan, yang menjunjung keberagaman. Kita wajib mengakui dan menghargai keunikan setiap individu.