Mulutmu Harimaumu, Jarimu Pisau Bermata Dua: Saatnya Katakan Tidak pada Bully

Bagikan Artikel

Kasus kematian mahasiswa kedokteran, Timothy Anugerah, yang menjadi korban perundungan, membuka kembali luka lama tentang betapa kejamnya praktik bully di negeri ini. Kasus seperti ini bukan yang pertama. Sebelumnya, seorang siswa SMP meninggal setelah kepalanya dipukul berulang kali hingga kejang dan tidak tertolong. Bahkan, seorang siswa SD kelas dua juga tewas karena dipukul dan ditendang oleh kakak kelasnya sampai mengalami infeksi di bagian usus.

Ironisnya, lingkungan sekolah dan kampus yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan tumbuh justru berubah menjadi arena kekerasan dan ketakutan. Korban perundungan bukan hanya kehilangan nyawa, tapi juga masa depan. Ada siswi SMP di Bali yang memutuskan berhenti sekolah karena trauma berat akibat diejek dan direndahkan oleh teman-temannya.

Bully kini tidak hanya terjadi secara langsung, tapi juga di dunia maya. Jari-jari di balik layar bisa berubah menjadi senjata yang mematikan. Satu komentar jahat, satu unggahan menghina, bisa menghancurkan hidup seseorang.

Sayangnya, hukum di Indonesia masih belum cukup tegas dalam menangani kasus perundungan. Padahal, sudah ada sejumlah pasal yang bisa digunakan untuk menjerat pelaku. Misalnya, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 76C yang melarang setiap orang melakukan kekerasan terhadap anak, serta Pasal 80 yang mengatur sanksinya. Namun, kenyataannya, banyak kasus yang berakhir dengan damai dan pelaku hanya diberi sanksi ringan.

Selain itu, KUHP juga memiliki pasal-pasal yang bisa digunakan seperti Pasal 170 tentang pengeroyokan, Pasal 310 dan 311 tentang pencemaran nama baik dan fitnah, serta Pasal 351 tentang penganiayaan. Untuk kasus cyberbullying, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 bisa digunakan untuk menjerat pelaku yang melakukan penghinaan, penyebaran informasi palsu, atau ancaman kekerasan di dunia digital.

Lebih dari itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Pasal 462 juga mengatur hukuman bagi siapa pun yang mendorong atau membantu orang lain untuk bunuh diri, dengan ancaman penjara hingga empat tahun. Ini seharusnya menjadi peringatan keras bahwa ucapan dan tindakan kita, baik di dunia nyata maupun maya, memiliki konsekuensi yang sangat besar.

Namun, kenyataannya, keadilan sering kali baru ditegakkan setelah kasus viral dan mendapat perhatian publik. Banyak pelaku hanya membuat video permintaan maaf tanpa konsekuensi berarti. Hukuman tidak sebanding dengan nyawa yang hilang. Kasus Timothy Anugerah adalah bukti bahwa sistem masih jauh dari kata adil.

Sudah saatnya pemerintah mempertimbangkan undang-undang khusus tentang perundungan, dengan hukuman yang lebih berat agar menimbulkan efek jera. Dunia pendidikan juga tidak boleh diam. Guru, dosen, dan pihak sekolah harus berani bertindak ketika ada laporan bullying. Diam berarti ikut membiarkan kejahatan terus terjadi.

Bully bukan hanya soal ejekan atau kekerasan fisik. Ia adalah bentuk pembunuhan karakter, perampasan hak, dan penghancuran masa depan. Karena itu, setiap orang perlu sadar bahwa mulutmu adalah harimaumu dan jarimu adalah pisau bermata dua. Gunakan keduanya untuk membangun, bukan melukai.

Penulis: Flora Talyeta Gratia Beth, Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *