Mesin Mobil yang Terlambat Dinyalakan

Bagikan Artikel

Oleh: Pretty Luci Lumbanraja

Sebenarnya aku menyadari bahwa ada sepasang mata yang lekat menatapku sedari tadi. Dia tidak berkutik dalam setiap jeda. Meskipun ada beberapa perangkat elektronik yang menyala di depannya yang bisa dijadikan alibi. Entah itu sebuah gawai atau laptop. Tapi aku yakin bahwa yang diamatinya lebih dari sekedar memandang saja.


Agenda rapat sudah selesai. Kami beranjak kembali ke ruangan masing-masing. Saat itu masih menunjukkan sekitar pukul 17.00 WIB. Tidak biasanya kami selesai beraktivitas di waktu segitu, karena penutupan rapat pasti diselingi dengan berbagi ilmu serta pengalaman. Sampai waktu magrib yang mengingatkan bahwa hari sudah malam.
“Nevya, langsung pulang? Pulang sama siapa?”
“Saya pulang dengan Pak Idris, Pak” jawabku.
“Hmmm, tapi aman kan?” tanya Pak Putra kembali.
“Aman, Pak. Terima kasih. Hati-hati.”
Biasanya mobil Pak Putra terparkir di depan ruanganku. Bagian depan mobilnya mengarah ke jendela ruanganku. Tirai kaca jendelanya sudah renggang, kalau mau tertutup harus diganti dengan tirai yang baru. Jadi, orang dari luar dapat mengamati aktivitas di dalam ruangan dan begitu juga sebaliknya. Terutama jika hari sudah menunjukkan waktu petang. Penglihatan ke dalam ruangan menjadi semakin jelas.

Saat Pak Putra sudah masuk ke dalam mobilnya, kadang aku suka bertanya-tanya. Mengapa dia tidak menyalakan mobilnya. Pun jika dinyalakan, dia berdiam di dalam mobil selama 5-10 menit sampai dia benar-benar pergi. Di saat-saat itu, aku masih sibuk menatap layar laptopku. Apapunlah yang bisa aku kerjakan asal aku tidak terkecoh dengan apa yang sedang terjadi. Ruang romantis yang sedang dia ciptakan sendiri.

Beberapa momen aku tidak bisa mengelakkan, bagaimana cara-cara bapak itu yang selalu menunjukkan perhatiannya padaku. Entah itu atas dasar kasih sayang kepada bawahannya atau yang lain. Responku bagaimana cara menghargainya dengan batas yang masih wajar.

“Sebenarnya aku ingin mengantarkanmu pulang. Bukan mauku pulang bersama dia,” pesan itu muncul di gawaiku. Beberapa menit setelah Pak Putra membawa Mba Clara pulang bersamanya.

Aku tidak bergeming. Kutandaskan kopi yang tersisa sedikit lagi. Berat rasanya menjawab pesan itu, sama beratnya dengan pekerjaan yang baru diberikan di sisa-sisa jam menuju pulang. Bagiku, tidak masalah jika dia harus pulang dengan siapa. Tapi dia menghadirkan banyak pertimbangan seolah-olah berpeluang menjadi masalah di suatu hari.

Aku pun pulang dengan Pak Idris yang sudah kuanggap seperti Bapak kandung sendiri. Kata Pak Putra, aku yang harus menjaga perasaan istrinya. Tapi dia yang tidak menyadari bagaimana perasaan istrinya jika dia masih menawarkan bantuan untuk mengantarkanku pulang.

“Ya sudah. Aku pulang sendiri saja,” jawabku setelah Pak Putra menantangku.
“Jangan, jangan. Saya hanya bercanda. Nevya sama Pak Idris saja ya. Lebih aman”, nampaknya dia takut dengan caraku yang cepat menyela perkataannya.

Aku tidak suka dengan cara-cara bapak itu menantangku dengan penuh godaan. Seolah-olah aku tidak mengerti dengan norma dan etika. Dia yang tidak sadar bahwa atas tindakannya yang terkadang melewati batas antara atasan dengan bawahan.

Dia yang mau memegang tanganku, mengelus rambutku, dan mencubit pipiku. Sampai-sampai terkadang terceletuk dari bibirnya bahwa dia ingin mencium dan memelukku. Dia bersikap seolah-olah aku juga menikmati semua perlakuannya itu.

Terkadang aku sangat bersedih. Apakah sebagai perempuan, aku sudah tidak dihargai lagi? Apakah dengan segampang itu dia memperlakukanku seperti ini?

Aku hanya ingin bekerja dengan baik, jika dia menawarkan kesempatan bekerja yang lebih baik itupun karena memang prestasi kerja yang selama ini aku usahakan. Bukan buah dari pendekatan ataupun mencuri hatinya. Aku yang selama ini berusaha untuk lebih profesional bekerja.

Jika memang Pak Putra mempercayaiku atau dengan mengusahakanku sebagai orang kepercayaan dia, sehingga aku akan menjadi lebih dekat, lebih dekat lagi kepadanya.

Aku sampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan itu dan akan selalu berusaha menjaganya dengan sepenuh hati. Aku tidak akan mengecewakannya, segala rahasianya yang menyangkut kebutuhan kerja akan aku simpan dengan baik. Bukan untuk dikomunikasikan ke orang lain. Itu yang membuat aku bisa bertahan dalam posisi ini.

Suatu ketika, aku sengaja meninggalkan ruanganku saat Pak Putra sudah memasuki mobilnya. Aku tidak ingin dia memandangiku dari balik kaca mobilnya karena aku merasa perasaannya kepadaku semakin bergejolak.

Terlihat dari cara dia yang semakin intens memandangku dari kejauhan. Tatapan kami pernah saling bertemu. Tapi dia tidak mau mengalihkannya dan juga tidak gelagapan. Aku hanya berusaha memastikan saja. Karena aku menjadi merasa iba.

Pernah di suatu masa, ketika istrinya datang menemuinya ke kantor, bisa-bisanya dia berusaha mem-validasi perasaannya kepadaku. Dengan cepat dan sengaja dia datang menemuiku di ruangan hanya untuk mengatakan hal yang terasa janggal untuk kudengar.

“Aku sayang sama kamu, Nevya. Kamu selalu membuat hatiku senang”.
Sampai-sampai aku memarahinya sebagai atasan karena sudah mengatakan hal seperti itu.
“Pak, kenapa berkata seperti itu. Tidak boleh,” aku dengan berani ambil sikap.


Kemudian dia pergi meninggalkanku. Aku tidak mau tahu entah masalah apa yang terjadi antara dia dan istrinya. Tapi dia nampaknya patut dikasihani.


Saat aku kembali dari toilet, aku amati notifikasi pesan daring masuk ke gawaiku. Sebuah pesan singkat darinya.
“Maafkan aku jika perasaanku berlebihan selama ini kepadamu, Adinda”.

Aku pun tetap membalas dengan sopan. “Kenapa, Pak? Apa perasaan bapak kepada saya?”

Pesannya terjeda. Muncul emoji seolah-olah aku seharusnya mengerti dengan yang sedang dia coba katakan. Aku memang tidak mau mencerna ketidakjelasan perlakuannya itu selama ini dan mengartikannya bahwa dia menyimpan perasaan khusus kepadaku.
“Hati-hati saja di jalan, Pak”.
“Terimakasih sayangku. Boleh telepon sayang?”
Aku terdiam dan yakin bakal seperti ini.
“Saya tiba di rumah sekitar satu jam lagi pak. Nanti saja setibanya saya di rumah”.


“Kamu jangan marah ya. Semakin hari, rasa sayang aku semakin mendalam kepadamu. Aku juga tidak tahu kenapa, sejak kapan. Awalnya aku hanya ingin perhatian saja. Lambat laun aku heran dengan perasaan ini. Aku sedih dengan yang sudah terjadi sekarang. Perasaan ini menyiksa aku. Aku hanya ingin mengungkapkannya. Aku merasa rugi jika aku tidak bilang bahwa aku sayang padamu. Aku seperti kehilangan diriku sendiri jika aku tidak menyampaikannya. Aku sedih melihat kamu sakit, aku sedih melihat mu lelah. Aku rindu dan kecarian saat mendengar suaramu”.


“Baik, Pak. Sampaikan saja semuanya. Barangkali bapak akan menjadi lega” sekedar itu responku.
“Tidak. Bisa jadi aku semakin sayang, tidak terkendali, dan tidak bisa mengendalikan diri saya. Tidak profesional dalam bekerja. Aku membutuhkan seseorang seperti mu yang mampu mendinginkan pikiran dan hatiku. Kamu mendatangkan kesejukan dan ketenangan dalam hari-hariku”.

“Baik, Pak. Saya juga tidak menyangka bapak sayang pada saya. Barangkali ini sebatas atasan ke bawahannya saja, Pak. Jangan sampai keliru. Apa yang sudah saya perbuat kepada Bapak? Saya hanya bekerja dengan baik sebagaimana adanya. Saya juga bersikap biasa aja. Saya tidak cantik dan juga tidak pintar. Dari sisi mana bapak menyukai saya?”

“Tidak ada yang kamu perbuat. Saya juga tidak mengerti dari sisi mananya. Saya hanya suka dengan senyumanmu. Kamu selalu memberikan dukungan saat saya punya masalah dengan pimpinan. Dadaku merasa sesak, jantungku kembali berdegup kencang setiap melihatmu. Saya malu dan frustasi. Saya ingin memilikimu, ingin menikahimu. Hatiku saat ini bentrok. Jika kamu menjauhi saya karena ini, saya siap”.

Beberapa saat pembicaraan itu terhenti. Aku duduk terpekur, ini kali pertamanya bagiku mendapatkan pengakuan cinta dari seorang pria.
“Terimakasih pak sudah menyayangi saya”, aku tidak tahu mau berkata apa lagi.
“Kamu tidak marah kan?”
“Tidak, Pak”.

Panggilan pun dimatikan. Aku masih tidak menyangka dengan apa yang sudah terjadi. Perkataannya masuk ke dalam pikiranku. Pernyataan itu menelikung malamku. Kata-kata itu bagaikan sebuah seni. Seni yang berusaha menipu seseorang sepertiku.

Aku jadi dirundung cemas dan mulai memejamkan mata. Tetapi aku tidak bisa tidur. Pikiranku carut-marut. Sambil membayangkan apa yang akan terjadi keesokan harinya. Apakah semuanya menjadi asing? Siapa yang menciptakan ruang ketidaknyamanan ini?


Keesokan harinya, Pak Rizky datang ke ruangan dan duduk di depanku. Matanya berbinar-binar memandang wajahku. Senyumnya tersimpul. Aku tidak mau diperdaya dengan jurus yang melebihi ilmu katon ini. Perkara ini biar aku selesaikan sendiri karena sangat runyam untuk dibagikan kepada orang lain (*)


*Penulis adalah Cerpenis dan bergiat dalam Perhimpunan Suka Menulis (Perkamen)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *