Menyambut Kehadiran Otoritas Pengawas Koperasi: Perlukah Sebesar Itu?

Bagikan Artikel

Oleh: R. Nugroho M

Rencana perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 telah resmi menjadi RUU inisiatif DPR pada 18 November 2025. Di dalamnya muncul satu lembaga baru yang mengatur usaha simpan pinjam koperasi. Nama lembaga itu adalah Otoritas Pengawas Koperasi, atau OPK.

Dalam rancangan tersebut, OPK dibentuk pemerintah pusat. Tugasnya mengurus perizinan, pengaturan, dan pengawasan usaha simpan pinjam koperasi. OPK juga dirancang sebagai lembaga independen yang langsung bertanggung jawab kepada Presiden. Posisi ini menempatkannya setara dengan kementerian. Sangat kuat. Bahkan bisa disebut superbody.

Pertanyaannya, apakah usaha simpan pinjam koperasi memang sedemikian berbahaya bagi perekonomian hingga perlu lembaga sebesar itu?

Padahal, aturan soal usaha simpan pinjam koperasi sebenarnya sudah ada. Beberapa regulasi bahkan sudah memperjelas batasnya.

Pertama, PP Nomor 7 Tahun 2021 menegaskan bahwa usaha simpan pinjam koperasi hanya boleh melayani anggota. Tidak boleh melayani masyarakat umum.

Kedua, UU Nomor 4 Tahun 2023 memisahkan usaha simpan pinjam koperasi dari sektor jasa keuangan koperasi. Artinya, layanan untuk anggota dipisah dari layanan untuk non-anggota.

Ketiga, dalam draf revisi UU Perkoperasian ini, pemisahan itu ditegaskan kembali.

Dengan demikian, usaha simpan pinjam koperasi adalah usaha internal. Dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Tidak untuk publik.

Jika dikembalikan ke jati dirinya, simpan pinjam koperasi adalah kegiatan gotong royong. Orang-orang berhimpun, mengumpulkan dana, dan membantu satu sama lain. Pengawasannya juga sudah jelas. Ada rapat anggota, pengurus, dan pengawas internal.

Anggaran dasar, anggaran rumah tangga, serta kesepakatan bersama menjadi dasar tata kelola. Semua itu adalah wujud otonomi koperasi. Koperasi mengatur dirinya sendiri.

Memang, perkembangan zaman menuntut tata kelola yang lebih modern. Teknologi terus berubah. Koperasi juga harus beradaptasi. Karena itu, regulasi tetap penting. Tetapi regulasi harus memberi perlindungan dan pemberdayaan, bukan membatasi ruang gerak koperasi.

Dalam konteks ini, perizinan, pembinaan, dan pengawasan usaha simpan pinjam idealnya cukup dilakukan sebagai berikut:

  • Perizinan memberikan legalitas bagi koperasi.
  • Pembinaan memberi edukasi dan pendampingan.
  • Pengawasan memastikan koperasi tidak keluar dari koridor yang telah disepakati.

Lalu, apakah usaha simpan pinjam koperasi benar-benar berpotensi menimbulkan risiko sistemik hingga perlu lembaga super kuat setingkat kementerian?

Menurut penulis, pembentukan OPK dalam bentuk superbody terlalu berlebihan. Tidak efisien. Sulit dibayangkan, transaksi simpan pinjam antaranggota harus diawasi oleh lembaga yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sementara OJK, yang mengawasi sektor keuangan jauh lebih luas, tidak berada di posisi setinggi itu.

Selain itu, koperasi sudah punya pengawas internal. Jika OPK masuk ke ranah yang sama, bisa terjadi tumpang tindih. Bahkan bisa menghilangkan otonomi koperasi. Padahal, kemandirian adalah ruh koperasi.

Beban biaya juga perlu dipikirkan. Jangan sampai koperasi yang kecil ikut menanggung biaya lembaga baru ini.

Penulis menduga hadirnya OPK dipicu oleh kasus gagal bayar beberapa koperasi besar di masa lalu. Namun menyamaratakan semua koperasi dengan segelintir kasus bukanlah solusi. Ribuan koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam dengan benar jangan ikut menanggung akibatnya.

Pengawasan pemerintah tetap diperlukan. Itu tidak bisa dipungkiri. Namun jika OPK tetap dibentuk, harus ada batasan jelas.

Pertama, OPK tidak boleh mengambil alih tugas pengawas internal koperasi.

Kedua, OPK tidak boleh menjadi lembaga superbody yang memegang perizinan, pembinaan, dan pengawasan sekaligus.

Ketiga, perizinan dan pembinaan tetap menjadi tugas Kementerian Koperasi.

Keempat, OPK bekerja di bawah kementerian dan beranggotakan unsur pemerintah serta unsur gerakan koperasi.

Kelima, anggaran OPK ditanggung pemerintah, bukan koperasi.

Keenam, ruang pengawasan dibagi jelas. OPK mengawasi jika koperasi berubah menjadi semacam lembaga keuangan yang melayani non-anggota.

Ketujuh, OPK tidak berada langsung di bawah Presiden.

Kehadiran pengawas usaha simpan pinjam koperasi seharusnya justru memperkuat definisi koperasi yang baru. Koperasi bukan badan usaha semata, tetapi kumpulan orang yang bekerja bersama dalam semangat kekeluargaan.

Jangan sampai OPK justru membuat Kementerian Koperasi terlihat melepaskan tanggung jawabnya. (*)

Penulis adalah praktisi Koperasi

2 thoughts on “Menyambut Kehadiran Otoritas Pengawas Koperasi: Perlukah Sebesar Itu?

  1. Saya sangat setuju dengan pernyataan dan ulasan penulis,
    Saya berasumsi bahwa OPK tujuannya untuk mengawasi KDMP, namun karena regulasi OPK bersifat universal jadi Koperasi koperasi lain ikut terdampak. Jadi saya sependapat dengan penulis ada batasan jelas wewenang OPK

  2. Saya sangat setuju dengan pernyataan dan ulasan penulis,
    Saya berasumsi bahwa OPK tujuannya untuk mengawasi KDMP, namun karena regulasi OPK bersifat universal jadi Koperasi koperasi lain ikut terdampak. Jadi saya sependapat dengan penulis ada batasan jelas wewenang OPK

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *