Oleh: Dedy Hutajulu
Banyak orang percaya bahwa mengikuti seminar atau pelatihan menulis otomatis bisa membuat seseorang menjadi penulis. Logika ini terdengar wajar, tetapi sesungguhnya keliru. Pelatihan hanya memberi pengetahuan dan contoh; keterampilan sejati baru muncul jika seseorang melatih dirinya menulis setiap hari tanpa putus. Sama seperti orang yang belajar berenang, seseorang tak akan bisa mahir hanya dengan duduk mendengarkan teori di pinggir kolam.
Kesalahpahaman inilah yang masih sering saya temukan, terutama di kalangan mahasiswa. Mereka berpikir bahwa mengikuti webinar, workshop, atau seminar sudah cukup menjadi tiket menuju dunia kepenulisan. Karena itu pula saya sempat terdiam saat diminta memberikan motivasi menulis pada sebuah webinar yang digelar IAKN Tarutung, Sabtu (22/11/2025) kemarin. Bukan karena saya tak ingin berbagi, tetapi karena saya sudah terlalu sering menyaksikan pola yang sama berulang.
Sejak masa kuliah, melalui komunitas kepenulisan Perkamen, saya ikut menyelenggarakan banyak pelatihan menulis bagi mahasiswa dan alumni. Puluhan bahkan ratusan peserta telah mendapat dorongan, inspirasi, hingga teknik menulis. Hasilnya memang manis—banyak yang akhirnya berhasil menembus media cetak dan media daring. Namun sayangnya, keberhasilan itu sering berhenti di sana. Tidak sedikit yang kemudian berhenti menulis, seolah kemampuan itu sudah tidak lagi berarti. Tulisan-tulisan mereka lenyap, dan dunia tidak lagi mendengar gagasan mereka.
Apakah mereka kekurangan motivasi? Tidak. Menurut saya, masalahnya lebih dalam. Mereka belum merasakan kenikmatan menulis. Mereka menulis untuk tepuk tangan, bukan sebagai sarana berpikir, berjuang, atau berkontribusi. Ketika orientasi hanya validasi, maka semangat itu mudah luntur. Seorang penulis sejati harus mampu melampaui godaan tersebut.
Saya teringat pada Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia. Hidupnya pernah dibatasi, dikurung, bahkan dibuang ke Pulau Buru. Tetapi ketika ruang geraknya dipersempit, ia justru menulis semakin gagah. Pena menjadi senjata paling kuat yang dimilikinya. Tidak ada tirani yang mampu menghentikan imajinasi dan gagasannya. Dunia akhirnya bergetar oleh kata-katanya. Ia menulis bukan untuk pujian, tetapi untuk perjuangan.
Karena itu saya tersentak ketika panitia webinar, Ibu Dosen, Marina Nababan, menulis di ruang diskusi, “Teman-teman, ikuti pelatihan ini dengan serius ya, jangan hanya mengharapkan sertifikat.” Kalimat itu sederhana, tetapi menghunjam tepat sasaran. Memang selama masih kentara kecenderungan sebagian mahasiswa mengikuti pelatihan hanya untuk mengejar sertifikat—padahal sertifikat tidak pernah menjadi ukuran kemampuan menulis seseorang. Jauh lebih bernilai satu tulisan yang terbit di surat kabar dibanding sepuluh lembar sertifikat yang disimpan dalam map.
Saya pernah mendengar seorang teman bercerita bahwa ia gagal diterima sebagai wartawan karena dianggap tidak memiliki pengalaman jurnalistik, padahal ia lulusan Fakultas Bahasa dan Seni. Sebaliknya, saya—juga fresh graduate—diterima di media yang sama tanpa hambatan. Bedanya mungkin satu hal: saya mengirimkan lamaran disertai satu rim tulisan saya yang sudah terbit di berbagai media cetak dan daring. Itulah “jimat sakti” saya. Saya tidak mengikuti pelatihan jurnalistik formal, bukan pula anggota pers kampus. Tetapi selama kuliah saya menempa diri melalui Perkamen (Perhimpunan Suka Menulis)—menulis setiap hari, jatuh bangun, menembus redaksi demi redaksi, hingga karya saya dikenal secara luas.
Ketekunan itu bahkan membawa saya menjuarai banyak lomba menulis di tingkat lokal maupun nasional, serta mengantarkan saya menjejak tempat-tempat baru seperti Malaysia dan Australia. Semua kesempatan itu hadir bukan karena saya mengoleksi sertifikat, tetapi karena saya setia pada satu hal: menulis.
Menulis adalah pengalaman terbaik yang saya dapatkan selama kuliah. Ia menajamkan kepekaan, melatih kemampuan berpikir kritis, dan menjadi alat yang efektif untuk membawa perubahan nyata di tengah masyarakat. Karena itu saya sering bertanya: jika mahasiswa—yang kita sebut kaum terpelajar—tidak menulis, dari mana kita berharap lahirnya pencerahan?
Hampir seluruh aspek akademik bergantung pada kemampuan menulis: paper, esai, artikel, skripsi, bahkan surat motivasi untuk beasiswa. Bagaimana mungkin semua itu dapat diselesaikan dengan baik jika kemampuan menulis tidak diasah?
Sebagian orang mungkin akan menjawab, “Kan ada AI.” Tentu, kecerdasan buatan dapat menjadi alat bantu. Namun apakah pantas mahasiswa—calon intelektual bangsa—bergantung sepenuhnya pada mesin, lalu mengklaim hasilnya sebagai karya pribadi? AI boleh digunakan, tetapi jangan sampai membunuh kemampuan bernalar, mengolah gagasan, dan merangkai kata dengan tangan sendiri.
Sebab pada akhirnya, dunia ini tidak membutuhkan lebih banyak pengguna AI. Dunia membutuhkan lebih banyak manusia yang mampu berpikir, menulis, dan menyuarakan gagasannya dengan tulus.
Jadi, jangan tinggalkan kebiasaan baik yang selama ini sudah dibangun. Menulislah dengan kesungguhan, bukan untuk sertifikat, bukan sekadar mencari pengakuan, tetapi sebagai bentuk kontribusi terhadap dunia. Karena hanya orang yang setia menulis yang pada akhirnya layak menyebut dirinya penulis.