Menolak Lupa, Menolak Soeharto Jadi Pahlawan

Bagikan Artikel

Wacana menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional bukan sekadar soal penghargaan negara. Ia adalah soal ingatan kolektif, soal cara bangsa ini memperlakukan sejarahnya sendiri. Maka, ketika sejumlah tokoh menolak ide tersebut, sesungguhnya mereka sedang berusaha menyelamatkan akal sehat publik dari pelupaan yang disengaja.

Selama 32 tahun memerintah, Soeharto membangun stabilitas dengan cara yang mahal: mengekang kebebasan, membungkam kritik, dan menumpuk kekuasaan di lingkar keluarganya. Pencapaian ekonomi Orde Baru memang tidak bisa diabaikan, tapi sejarah tidak pernah hanya diukur dari angka pertumbuhan. Ada harga sosial dan kemanusiaan yang tak kecil: pembunuhan massal 1965, Talangsari 1989, penghilangan paksa aktivis 1997–1998, hingga kerusuhan Mei 1998. Luka-luka itu belum pernah benar-benar disembuhkan.

Karena itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dengan tegas menolak pemberian gelar tersebut. Mereka menyebut, langkah pemerintah mengusulkan Soeharto adalah bentuk kebutaan terhadap sejarah bangsa sendiri. Pandangan ini beralasan: dari pelanggaran HAM hingga praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), semua terjadi di bawah rezim Orde Baru — dan bahkan diakui oleh negara melalui TAP MPR XI/MPR/1998.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengingatkan, secara normatif saja, Soeharto tak memenuhi syarat menjadi pahlawan. TAP MPR itu, kata dia, masih menjadi rambu moral dan hukum yang melarang pengangkatan seorang tokoh yang tersangkut KKN. Lebih jauh lagi, ia melihat wacana ini sebagai tanda kemunduran. “Kalau Soeharto dijadikan pahlawan, kita seperti menarik mundur sejarah ke sebelum Reformasi,” ujarnya.

Nada yang sama juga datang dari Romo Magnis Suseno. Dengan bahasa yang sederhana namun tajam, ia menolak keras ide itu. Bagi Romo Magnis, pahlawan adalah sosok yang berkorban demi rakyat, bukan memperkaya diri dan keluarganya.

Soeharto, dalam pandangannya, justru mengajarkan hal sebaliknya — memusatkan kekuasaan, menutup ruang kritik, dan menanamkan ketakutan dalam kehidupan publik.

Bahkan Puan Maharani, yang dikenal berhati-hati dalam berkomentar, meminta pemerintah untuk tidak tergesa-gesa. Ia mengingatkan pentingnya menilai rekam jejak setiap calon pahlawan secara objektif dan hati-hati. Sikap ini seolah menjadi penegas bahwa urusan “pahlawan nasional” bukanlah seremoni simbolik, melainkan keputusan moral yang mencerminkan sikap bangsa terhadap masa lalunya.

Pertanyaannya kini sederhana tapi tajam:

Apakah bangsa ini siap menempatkan seorang pemimpin dengan catatan panjang pelanggaran HAM dan korupsi dalam jajaran pahlawan? Ataukah ini hanya bagian dari upaya politik jangka pendek untuk memutihkan sejarah yang kelam?

Reformasi 1998 lahir dari luka-luka akibat kekuasaan yang terlalu lama. Menjadikan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional sama artinya dengan mengkhianati perjuangan itu sendiri.

Bangsa yang sehat adalah bangsa yang berani mengakui masa lalunya, bukan yang berusaha melupakannya demi kenyamanan politik hari ini.

Menolak Soeharto menjadi pahlawan bukan berarti menolak sejarah. Justru sebaliknya — itu adalah cara paling jujur untuk menghormati sejarah. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *