Oleh: Mardi Panjaitan*)
Dalam dunia akademik, banyak orang menganggap penelitian sekadar urusan teknis — membuat instrumen, mengumpulkan data, lalu menampilkan grafik hasil. Padahal, di balik semua itu ada hal yang jauh lebih mendasar: filsafat penelitian yang menjadi fondasi dari setiap langkah ilmiah.
Itulah pesan utama dari Dr. Gianfranco Giuntoli, dosen tamu dari University of New South Wales (UNSW) Sydney, Australia, dalam kuliah tamu bertema philosophy, methodology, and methods in research. Selama dua hari penuh, peserta diajak memahami kembali makna mendalam dari proses penelitian — bukan sekadar prosedur, melainkan perjalanan berpikir yang utuh.
Kegiatan ini dipandu oleh Antoni Tsaputra, Ph.D., dosen mata kuliah Seminar dan Analisis Kebijakan Pendidikan Khusus yang juga alumni universitas di Australia. Dengan penguasaan bahasa Inggris dan konteks akademik yang kuat, ia membantu memperluas wawasan peserta mengenai pendidikan inklusif dalam perspektif global.
Filsafat sebagai Arah dan Jiwa Penelitian
Menurut Dr. Giuntoli, desain penelitian bukan hanya rancangan teknis, tetapi kerangka berpikir yang memadukan tiga unsur utama:
- Filsafat ilmu — klaim pengetahuan yang diyakini peneliti;
- Metodologi — strategi atau pendekatan penelitian;
- Metode — teknik konkret pengumpulan dan analisis data.
Ketiganya harus selaras. “Jika satu bagian tersendat, penelitian kehilangan arah dan maknanya,” ujar Giuntoli.
Ia menggunakan analogi menarik: penelitian seperti jam pasir. Di bagian atas, ada berbagai aliran filsafat — positivisme, konstruktivisme, pragmatisme, dan lainnya. Namun, ketika masuk ke bagian tengah (metode penerapan), semua aliran bertemu pada langkah teknis yang hampir serupa. Perbedaannya bukan pada cara bekerja, melainkan cara memahami realitas dan makna data.

Pertanyaan yang Menentukan Pendekatan
Salah satu pesan kuat Giuntoli adalah: “pertanyaan penelitian menentukan pendekatan, bukan sebaliknya.” Jika peneliti ingin mengetahui bagaimana pengalaman siswa dengan disleksia di sekolah, maka penelitian kualitatif adalah pilihan yang tepat, karena berfokus pada makna dan pengalaman subjektif.
Sebaliknya, jika ingin menguji perbedaan nilai siswa dengan dan tanpa disleksia, penelitian kuantitatif yang berbasis statistiklah yang digunakan.
Artinya, setiap pertanyaan membawa arah metodologinya sendiri. Peneliti yang peka akan mampu menyesuaikan strategi dengan tujuan ilmiahnya.
Co-Design dan Etika dalam Penelitian Inklusif
Dalam konteks pendidikan inklusif dan disabilitas, Dr. Giuntoli menekankan pentingnya pendekatan co-design — yaitu merancang penelitian bersama partisipan. Ia mengingatkan agar peneliti tidak sekadar menjadikan penyandang disabilitas sebagai objek penelitian, tetapi sebagai rekan sejajar dalam proses pencarian pengetahuan. “Mereka adalah ahli dalam pengalaman hidupnya sendiri,” tegasnya.
Dengan melibatkan partisipan sejak tahap perencanaan, penelitian menjadi lebih etis, relevan, dan berdampak nyata bagi masyarakat.
Dari Sampling hingga Analisis Tematik
Giuntoli kemudian membahas sampling dalam penelitian kualitatif, yang menekankan kualitas makna daripada kuantitas data.
Ia menjelaskan tentang purposive sampling dan theoretical sampling, serta konsep data saturation — titik di mana pengumpulan data dihentikan karena tidak ada informasi baru yang muncul.
Pada tahap analisis, peneliti melakukan open coding, focused coding, hingga pembentukan tema (themes). Alat seperti NVivo atau Atlas.ti bisa membantu, namun analisis sejati tetap bergantung pada ketajaman refleksi peneliti.
Menulis dengan Kejelasan dan Integritas
Bagi Dr. Giuntoli, penelitian yang baik tidak berhenti di analisis data. Etika dan kejelasan penulisan menjadi bagian tak terpisahkan.
Laporan penelitian harus jujur menjelaskan proses coding, menjaga anonimitas partisipan, dan menyampaikan hasil dengan bahasa yang jelas, runtut, dan manusiawi.
“Berceritalah dengan makna, tapi tetap ilmiah,” pesannya.
Menjadi Peneliti yang Peka dan Reflektif
Kuliah ini meninggalkan kesan mendalam. Bahwa menjadi peneliti sejati berarti menggabungkan kepekaan, integritas, dan kesadaran filosofis dalam setiap langkah penelitian.
Bagi para guru, mahasiswa, dan calon peneliti di bidang pendidikan khusus, pesan Dr. Giuntoli terasa sederhana namun kuat: “Jangan terjebak pada teknik sebelum memahami makna. Penelitian yang kuat dimulai dari kesadaran tentang apa yang kita anggap nyata dan bagaimana kita memilih untuk mengetahuinya.”
*) Penulis adalah Kepala SLB Negeri Pembina, dan saat ini sedang menempuh pendidikan Magister di Program Pasca Sarjana Jurusan Pendidikan Khusus Universitas Negeri Padang (UNP).