Oleh: Mardi Panjaitan *)
Menjadi pemimpin di Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan hanya mengatur administrasi. Ini adalah tanggung jawab besar untuk memastikan setiap anak berkebutuhan khusus mendapat kesempatan tumbuh sesuai potensi terbaiknya. Anak-anak di SLB tidak menuntut pemimpin yang sempurna, tetapi pemimpin yang melihat kemampuan mereka, bukan kekurangannya.
Pemimpin seperti ini hadir bukan hanya dalam rapat dan laporan, tetapi juga di ruang kelas, di tengah guru, dan di hati anak-anak serta orang tua. Ia berani bermimpi tentang masa depan anak-anak, bahkan ketika orang lain meragukan.
Kepemimpinan transformatif dimulai dari cara memandang anak. Anak berkebutuhan khusus bukan objek belas kasihan. Mereka memiliki hak belajar, kekuatan, dan mimpi. Karena itu, pemimpin SLB perlu bertanya, “Kekuatan apa yang bisa kami kembangkan dari anak ini?” Ketika sudut pandang ini menjadi dasar, sekolah tidak lagi sekadar menjalankan rutinitas, tetapi menjadi tempat berkembangnya harapan.
Tugas guru di SLB juga tidak ringan. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing dan tempat bagi anak merasa aman. Karena itu, pemimpin perlu membangun lingkungan kerja yang suportif. Ia mendengarkan kesulitan guru, memahami tekanan yang mereka hadapi, dan memberikan ruang untuk pelatihan serta peningkatan kompetensi. Guru yang merasa dihargai akan bekerja dengan hati, bukan hanya menjalankan kewajiban.
Pemimpin SLB juga harus terbuka terhadap perubahan. Ia berani mencoba program baru seperti pembinaan kemandirian, pelatihan vokasional, penguatan kemampuan motorik, hingga kerja sama dengan orang tua dan komunitas. Inovasi dibutuhkan agar perkembangan anak semakin nyata.
Orang tua bukan pelengkap administrasi. Mereka adalah mitra utama. Karena itu, pemimpin perlu membuka ruang dialog, membangun kepercayaan, dan bekerja bersama dalam mendampingi anak. Ketika sekolah dan keluarga berjalan searah, perkembangan anak biasanya lebih cepat dan lebih bermakna.
Kehadiran pemimpin di lapangan menjadi hal penting. Ia melihat langsung bagaimana anak bermain, belajar, dan berinteraksi. Ia turun tangan, bukan hanya menerima laporan. Dalam proses itu, ia menjadi sahabat yang mendampingi perjalanan anak menuju masa depan yang lebih baik.
Pada akhirnya, kepemimpinan di SLB adalah kepemimpinan yang melayani. Pemimpin sejati tidak sibuk menunjukkan kekuasaan atau mengeluhkan keadaan. Ia tetap bekerja dengan hati karena sadar bahwa setiap anak memiliki masa depan yang pantas diperjuangkan.
Menjadi pemimpin di SLB memang tidak mudah, tetapi inilah pekerjaan penuh makna. Pemimpin transformatif bukan hanya mengubah sekolah, tetapi juga mengubah hidup. Ia membantu anak menemukan suara, membuka kesempatan untuk berkembang, dan menyalakan kembali harapan keluarga.
SLB membutuhkan lebih banyak pemimpin seperti ini—pemimpin yang melihat anak bukan sebagai keterbatasan, tetapi sebagai potensi yang sedang tumbuh dengan cinta dan kesabaran.
*) Mardi Panjaitan, Kepala SLB Negeri Pembina, sedang menempuh studi Magister Pendidikan Khusus di Universitas Negeri Padang.