Oleh: Jessica Dharmawan*)
Beberapa tahun terakhir, nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Kini, kurs rupiah berada di kisaran Rp15.500 hingga Rp16.000 per dolar, jauh di atas nilai saat awal reformasi 1998.
Fenomena menguatnya dolar dan melemahnya rupiah bukan hanya soal angka di pasar uang. Ini menyentuh kehidupan masyarakat langsung: harga barang naik, biaya impor membengkak, dan daya beli menurun.
Sejak pandemi berakhir, tekanan terhadap rupiah makin terasa akibat ketegangan geopolitik global dan kebijakan suku bunga tinggi The Fed (Bank Sentral AS). Semua ini menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia masih sangat terhubung dengan dinamika global.
Kebijakan Global yang Mengguncang Rupiah
Kenaikan suku bunga oleh The Federal Reserve (The Fed) membuat banyak investor dunia memindahkan dana ke aset berdenominasi dolar yang lebih aman dan menguntungkan. Akibatnya, dana asing keluar dari Indonesia, permintaan terhadap dolar meningkat, dan rupiah melemah.
Di tengah ketegangan politik internasional, dolar semakin dipercaya sebagai mata uang stabil. Kondisi ini memperlihatkan bahwa ekonomi Indonesia masih bergantung pada modal asing. Ketika arus investasi global berubah, rupiah pun ikut terguncang.
Ketidakseimbangan Ekonomi Dalam Negeri
Selain faktor global, persoalan juga datang dari dalam negeri. Indonesia masih menghadapi defisit transaksi berjalan, tingginya impor bahan bakar dan barang modal, serta utang luar negeri yang besar. Semua itu membuat kebutuhan akan dolar meningkat sementara hasil ekspor tidak banyak naik.
Industri nasional pun belum cukup kuat untuk mengurangi ketergantungan impor. Bandingkan dengan masa Presiden B.J. Habibie, yang setelah krisis 1998 berani melakukan reformasi ekonomi besar-besaran: memperbaiki perbankan, menarik kepercayaan investor, dan memperkuat industri dalam negeri.
Hasilnya luar biasa—rupiah yang sempat jatuh ke Rp16.000 per dolar berhasil stabil di kisaran Rp6.500–Rp7.000 pada akhir masa jabatannya.
Politik dan Kepercayaan Publik Jadi Penentu
Menjelang pemilu, pasar keuangan biasanya bersikap hati-hati. Banyak investor menunda investasi baru sambil menunggu arah kebijakan pemerintah. Kondisi ini mengurangi arus modal masuk dan menekan rupiah.
Selain itu, konsistensi kebijakan ekonomi pemerintah sangat berpengaruh pada kepercayaan pasar. Bila langkah pemerintah dinilai lambat atau tidak konsisten, reaksi pasar bisa negatif.
Dari masa Habibie, kita belajar bahwa kepercayaan publik dan investor merupakan kunci utama menjaga stabilitas nilai tukar—bahkan di tengah krisis.
Langkah Memperkuat Rupiah dan Ekonomi Nasional
Untuk menahan pelemahan rupiah, pemerintah dan lembaga keuangan perlu bergerak serentak:
- Pemerintah harus memperkuat sektor industri agar tidak bergantung pada ekspor bahan mentah.
- Bank Indonesia perlu menjaga stabilitas suku bunga dan memperkuat cadangan devisa.
- Masyarakat didorong mencintai dan menggunakan produk dalam negeri, agar permintaan impor berkurang.
- Kerja sama ekonomi internasional juga penting, terutama dalam sektor industri dan produksi.
Langkah-langkah ini mungkin tidak memberi hasil instan, tetapi menjadi investasi jangka panjang untuk membangun ekonomi yang lebih kuat dan mandiri.
Belajar dari Masa Lalu, Menatap Masa Depan
Pelemahan rupiah bukan hanya akibat krisis, tetapi juga cerminan struktur ekonomi yang belum kokoh. Namun sejarah membuktikan bahwa Indonesia bisa bangkit bila memiliki arah kebijakan yang tegas, transparansi, dan kepercayaan publik.
Era Habibie menjadi bukti, krisis bisa menjadi titik balik menuju kestabilan. Kini, tantangan Indonesia adalah membangun pondasi ekonomi nasional yang tahan terhadap guncangan global.
Rupiah yang kuat bukan sekadar angka, melainkan simbol kemandirian dan ketahanan bangsa di tengah derasnya arus ekonomi dunia.
*) Penulis adalah Mahasiswa Ukrida Jakarta, Prodi Psikologi