Membangun Ruang Digital yang Ramah Manusia: TikTok dan FB Pro Bagi Para Kreator

Bagikan Artikel

Oleh Evianti Sipahutar *)

Beberapa tahun terakhir, TikTok dan Facebook Profesional—lebih dikenal sebagai FB Pro—menjadi panggung besar bagi siapa saja yang ingin tampil, berkarya, dan bahkan mendulang cuan. Tidak lagi harus menjadi selebritas, wartawan media besar, atau bergabung dengan lembaga profesional; kini siapa pun bisa terkenal hanya dengan bermoda ide yang didukung gawai dan internet. Platform media soal memungkinan siapapun bisa menjulang sebagai kreator. Ini tentu belum pernah terjadi sebelumnya.

Namun, di balik peluang yang menggiurkan itu, ada sisi lain yang ikut tumbuh seiring perkembangan ini yakni soal etika dan tanggung jawab. Ruang digital tidak hanya berisi peluang, tetapi juga jebakan yang bisa menjerumuskan para kreator jika tidak disikapi dengan bijak.

Salah satu penyebabnya adalah algoritma. TikTok maupun FB Pro dibangun untuk mempercepat penyebaran konten yang mengundang reaksi cepat. Konten yang membuat orang terkejut, marah, tersentuh, atau penasaran akan meledak dibanding konten biasa. Akibatnya, banyak kreator yang tergoda untuk membuat konten sensasional—meski tidak faktual. Drama rekayasa, konflik palsu, hingga judul bombastis menjadi strategi yang dianggap “normal” demi mendapatkan tayangan tinggi.

Contohnya terlihat jelas di TikTok, di mana video drama dan cerita settingan dibuat seolah-olah benar, padahal semuanya produk skenario (by disain). Di FB Pro, judul konten dibuat melebih-lebihkan, memancing emosi, bahkan menipu pembaca agar mau mengklik. Motifnya sama: mendapatkan angka tayangan yang tinggi dan potensi cuan.

Di titik ini, tantangan berikutnya muncul: godaan uang. Monetisasi memang memberi kesempatan besar bagi para kreator untuk memperoleh pendapatan. Namun, tidak sedikit yang akhirnya menghalalkan segala cara. Ada yang mengunggah konten setiap hari tanpa memperhatikan kualitas, ada yang mengunggah ulang video milik orang lain tanpa izin dan tanpa menyebut sumber, dan ada pula yang memproduksi konten dramatis pura-pura menolong orang hanya untuk mengundang simpati penonton.

Fenomena seperti ini bukan hanya merugikan kreator lain, tetapi juga mengikis kepercayaan publik. Penonton menjadi apatis, kualitas konten menurun, dan ruang digital berubah dari tempat berbagi kreativitas menjadi arena manipulasi.

Padahal, TikTok dan FB Pro sejatinya memiliki potensi besar untuk membawa dampak positif. Platform ini bisa menjadi ruang belajar, ajang berbagi pengetahuan, mempromosikan bisnis, mengekspresikan kreativitas, dan membuka peluang karier yang bahkan tidak terpikirkan satu dekade lalu. Tapi semua itu hanya mungkin jika digunakan dengan integritas.

Kreator digital perlu memahami bahwa viral bukanlah satu-satunya tujuan. Yang lebih penting adalah bagaimana karya digital dapat memberi nilai: menginspirasi, mengedukasi, menghibur secara sehat, dan memberi manfaat bagi banyak orang. Kejujuran, etika, dan rasa tanggung jawab adalah modal yang jauh lebih penting daripada sekadar angka tayangan.

Pada akhirnya, pilihan berpulang kepada para kreator. Dunia digital adalah ruang yang bisa menjadi apa saja: tempat tumbuhnya talenta, pasar ekonomi kreatif, atau sekadar arena perebutan perhatian. Apakah akan menjadi pemburu sensasi semata, atau memilih menjadi bagian dari ekosistem digital yang sehat dan bermartabat—itu ditentukan dari cara kita berkarya hari ini.

*) Penulis adalah Mahasiswi IAKN Tarutung, Prodi Pendidikan Agama Kristen, Semester 5.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *