Oleh: Winda Gabriella, Monica Novalia, Flora Talyeta Gratia Beth
Minat baca anak-anak Indonesia masih berada di titik yang mengkhawatirkan. Data UNESCO menunjukkan hanya segelintir masyarakat yang membaca secara rutin, sementara Badan Pusat Statistik mencatat lebih dari separuh siswa tidak pernah mengunjungi perpustakaan. Angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan potret rapuhnya fondasi literasi generasi masa depan.
Situasi tersebut tercermin pula di ruang-ruang publik yang seharusnya ramah anak, seperti RPTRA Taman Apel di Jakarta Barat. Meski menyediakan beragam aktivitas positif, literasi belum menjadi magnet utama. Anak-anak lebih memilih bermain, sementara buku bacaan sering dibiarkan tersusun rapi tanpa disentuh. Pada usia awal sekolah dasar, kemampuan membaca sebagian anak masih terbatas, dan minat terhadap bacaan panjang belum terbentuk.
Berangkat dari kondisi itu, mahasiswa Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) menginisiasi kegiatan psikoedukasi literasi bagi anak-anak usia 6–8 tahun di RPTRA Taman Apel. Pendekatan yang digunakan sederhana: menjadikan membaca sebagai pengalaman yang menyenangkan, bukan kewajiban yang membebani.
Kegiatan diawali dengan permainan ringan untuk membangun rasa aman, lalu dilanjutkan dengan membaca bersama buku cerita bergambar. Anak-anak tidak hanya diminta membaca, tetapi juga diajak berdiskusi, bertanya, dan menafsirkan cerita melalui gambar. Pendekatan ini sejalan dengan tahap perkembangan early reading, ketika anak belajar menghubungkan teks dengan visual dan pengalaman sehari-hari.
Respons anak-anak menunjukkan bahwa literasi tidak pernah benar-benar ditolak—ia hanya sering diperkenalkan dengan cara yang keliru. Anak-anak tampak antusias, aktif bertanya, dan menunjukkan ketertarikan yang nyata terhadap buku yang mereka baca. Sejumlah orang tua bahkan melaporkan perubahan kebiasaan membaca anak di rumah setelah kegiatan berlangsung.
Namun kegiatan ini juga menyingkap tantangan yang lebih besar. Lingkungan yang belum sepenuhnya mendukung literasi, keterbatasan buku bacaan yang sesuai usia, serta dominasi aktivitas non-literasi di RPTRA menjadi pekerjaan rumah yang tidak bisa diabaikan. Tanpa dukungan lingkungan yang konsisten, minat baca anak berisiko kembali memudar.
Pengalaman di RPTRA Taman Apel memperlihatkan bahwa membangun budaya literasi tidak selalu membutuhkan ruang formal atau fasilitas mewah. Yang dibutuhkan adalah kemauan, kreativitas, dan kolaborasi antara komunitas, orang tua, serta pengelola ruang publik. Dari ruang sederhana seperti RPTRA, benih literasi bisa ditanam—dan dari sanalah generasi cerdas berpeluang tumbuh.
Tim Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Krida Wacana (Ukrida) Jakarta, Program Studi Psikologi