Mekanisme Ideal Kaderisasi Partai Politik

Bagikan Artikel

Oleh: Kristian Redison Simarmata*)

Mekanisme kaderisasi ideal merupakan sistem seleksi dan pembinaan yang memastikan hanya kader terbaik naik ke posisi pengurus partai, legislatif dan eksekutif.

Hal terpenting dalam proses ini adalah harus bersifat berjenjang, terstruktur dan berbasis meritokrasi, kader tidak hanya direkrut menjelang pemilu, melainkan dibina secara berdasarkan, penguatan ideologi dan visi partai.

Tujuannya, agar kader memahami arah perjuangan politik, bukan sekadar kepentingan elektoral.

Tak hanya itu, pelatihan teknis politik dan kebijakan publik (legislasi, anggaran, pengawasan, diplomasi politik) serta pengalaman lapangan melalui pengabdian di masyarakat, organisasi sosial, atau sayap partai juga sangat dibutuhkan.

Seleksi terbuka dan transparan untuk kandidat legislatif maupun eksekutif, dengan tolok ukur integritas, kompetensi, dan rekam jejak, bukan hanya kemampuan finansial.

Berdasarkan UU Partai Politik, Partai semestinya menyiapkan kader dengan kombinasi pemahaman ideologi, memahami kebijakan publik dan integritas moral, sehingga tidak sekadar menjadi alat elektoral atau pengumpul suara.

Hambatan kaderisasi semakin nyata karena sistem politik transaksional, ICW (2023) mencatat bahwa lebih dari 250 kasus korupsi daerah melibatkan anggota DPRD, fenomena ini memperlihatkan bahwa rekrutmen berbasis finansial mengalahkan seleksi berbasis kompetensi.

Akibatnya, banyak anggota legislatif hanya fokus pada proyek dan rente anggaran ketimbang memperjuangkan kepentingan rakyat, yang merupakan dampak nyata dari gagalnya meritokrasi dan jenjang pembinaan, karena Partai Politik terseret pada :

Politik uang dan mahar pencalonan. Studi KPK (2022) menunjukkan 82% caleg DPR mengaku modal finansial menjadi faktor penentu utama untuk pencalonan.

Bahayanya, partai mengalami pragmatisme elektoral. Adanya kecenderungan memilih figur populer atau tokoh yang punya modal besar ketimbang kader murni.

Kecenderungan kader memiliki dana kaderisasi yang minim. Dana partai banyak tersedot untuk kampanye, bukan pendidikan politik. Di samping pemenuhan orientasi jangka pendek. Target partai hanya kemenangan pemilu, bukan regenerasi berkelanjutan.

Program Pendirian Sekolah Partai di PDI Perjuangan Medan

Sekolah partai PDI Perjuangan Medan bisa menjadi antitesis terhadap politik pragmatis jika betul-betul dijalankan dengan serius.

Dengan pendidikan politik yang sistematis, kader tidak hanya diajarkan untuk memenangkan pemilu, tetapi juga membangun kesadaran ideologis dan kapasitas teknokratis karena menjadi wadah sistematis bagi kader untuk memahami ideologi Bung Karno, Pancasila, dan nasionalisme.

Pada sekolah partai nantinya, ada pelatihan keterampilan teknis, penyusunan APBD/APBN, advokasi rakyat, komunikasi politik, hingga penguasaan isu lokal.

Jika konsisten, sekolah partai bisa mengurangi dominasi politik uang dengan menyiapkan kader ideologis yang militan.

Hal yang harus diingat, sekolah partai sering hanya bersifat seremonial, tidak berlanjut pada seleksi yang ketat. Pertanyaan kritisnya, apakah lulusan terbaik sekolah partai benar-benar ditempatkan pada posisi strategis sebagai pertanda bahwa meritokrasi berjalan dengan baik dan kader akan antusias mengikuti sekolah partai ?

Jika sebuah sekolah partai berdiri, kurikulumnya harus menjawab kualitas pejabat publik yang merupakan wajah dari ideologi Partai yang menjadi sorotan publik.

Pola pendidikan selayaknya berfokus pada, ideologi untuk memahami sejarah, dasar, tujuan dan perjuangan partai. Juga etika dan integritas politik, untuk melawan korupsi dan politik uang.

Sekolah partai juga harus menghadirkan keterampilan teknis kebijakan publik, agar kader mampu mengelola anggaran, menyusun regulasi, dan merancang program berbasis data.

Adanya simulasi legislasi dan birokrasi, untuk melatih kemampuan mengambil keputusan secara rasional, bukan pragmatis serta pendekatan langsung ke masyarakat, agar kader belajar menyerap aspirasi, bukan sekadar retorika atau legislative pendengar/ absensi.

Sekolah partai juga dapat menjadi ruang kaderisasi anak muda dengan basis pengetahuan, etika politik, dan keterampilan teknokratis.

Jika anak muda benar-benar diberi ruang, mereka bisa membawa kultur politik baru yang lebih transparan, inovatif, dan dekat dengan rakyat—berbeda dengan citra partai saat ini yang kian mengecewakan publik

Data BPS (2024) menunjukkan bonus demografi Indonesia dengan 52 persen penduduk berusia di bawah 35 tahun. Sekolah partai dapat menjadi inkubator politik bagi anak muda yang belum memiliki pengalaman politik formal.

Perekrutan anak muda memberi partai energi baru, kreativitas, serta kemampuan digitalisasi politik.

Partai di banyak negara demokrasi maju menjadikan sayap pemuda sebagai basis regenerasi (contoh: Labour Youth di Inggris, Jusos di Jerman).

Tantangannya adalah memastikan anak muda tidak hanya jadi figuran elektoral, melainkan benar-benar diproyeksikan ke posisi strategis.

Bonus demografi akan sia-sia jika anak muda hanya diposisikan sebagai “vote getter”, bukan pemimpin masa depan.

Sementara itu, fakta di lapangan memperlihatkan banyak kader legislatif maupun eksekutif yang justru menyimpang dari ideologi partai, sehingga beberapa praktek politik seperti,

Anggota legislatif terjebak dalam praktik politik pragmatis (korupsi, lobi proyek, rente anggaran). Data ICW (2023) menunjukkan 14% kasus korupsi daerah melibatkan anggota legislatif yang berasal dari berbagai partai.

Hanya sebagian kader yang konsisten memperjuangkan garis ideologi partai, selebihnya lebih pragmatis sesuai kepentingan ekonomi dan politik.

Bahkan disinyalir, banyak kader tidak mampu menerjemahkan ideologi Partai, seperti Marhaenisme atau prinsip nasionalisme di PDI Perjuangan dengan fenomena pasar bebas.

Akhirnya, keberhasilan kaderisasi dapat diukur dari beberapa aspek sederhana , yaitu kualitas legislator dan pejabat eksekutif, menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Tingkat kepercayaan publik pada partai, jika kader berkualitas, maka kepercayaan publik naik, jika tidak, kepercayaan terus merosot.

Di samping integritas kader untuk tersangkut kasus korupsi dan mampu menjaga akuntabilitas publik juga kemampuan kader menyelesaikan masalah nyata masyarakat, pengangguran, kemiskinan dan layanan publik.

Sayangnya, tolok ukur ini sering gagal dipenuhi. Laporan KPK (2022) menegaskan bahwa DPR dan DPRD adalah lembaga yang paling banyak terjerat kasus korupsi, menandakan kegagalan kaderisasi internal partai

Inisiatif seperti sekolah partai dapat menjadi terobosan, tetapi harus konsisten menyiapkan kader yang ideologis, teknokratik, berintegritas, serta berpihak pada kepentingan rakyat, bukan hanya kepentingan elite.

Jika tidak, partai politik hanya akan semakin jauh dari rakyat, memperkuat krisis representasi, dan menambah jurang ketidakpercayaan dalam demokrasi Indonesia

PDI Perjuangan, sebagai partai kader, memikul tanggung jawab moral yang lebih besar untuk membuktikan bahwa deklarasi itu bukan jargon kosong.

Jika tidak, sekolah partai akan kehilangan makna, kaderisasi akan terus sekedar simbol, dan rakyat akan semakin kecewa terhadap partai politik.

Demokrasi Indonesia hanya akan selamat jika partai berani mengutamakan integritas dan kapasitas di atas kekuatan uang, sehingga yang lahir bukan sekadar politisi pencari rente, melainkan pemimpin sejati yang bekerja untuk rakyat. (*)

*) Penulis Penggiat HAM dan Demokrasi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *