Oleh: Alrend Charis Sihombing
Sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, sejak awal dirumuskan sebagai cita-cita besar kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip ini menegaskan bahwa negara memikul tanggung jawab untuk menciptakan kesejahteraan yang adil dan merata bagi seluruh warga negara. Namun, dalam praktik kehidupan sehari-hari, muncul pertanyaan mendasar: apakah keadilan sosial benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat, atau justru lebih mudah diakses oleh mereka yang dekat dengan kekuasaan, kebijakan, dan sumber daya?
Pertanyaan ini menjadi relevan ketika ketimpangan sosial masih terasa nyata di berbagai sudut Indonesia. Di kota-kota besar, pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik berkembang pesat, sementara di banyak daerah lain masyarakat masih bergulat dengan keterbatasan akses pendidikan, layanan kesehatan, dan lapangan kerja. Program kesejahteraan memang terus digulirkan, tetapi manfaatnya kerap dirasakan tidak merata. Kondisi ini menunjukkan bahwa keadilan sosial belum sepenuhnya hadir sebagai pengalaman nyata bagi seluruh rakyat, melainkan masih sering berhenti sebagai janji normatif dalam kehidupan bernegara.
Ketimpangan ekonomi menjadi gambaran paling jelas dari persoalan tersebut. Sebagian kecil kelompok masyarakat menguasai sumber daya ekonomi dalam jumlah besar, sementara jutaan warga lainnya hidup dalam kondisi rentan. Fenomena pekerja dengan jam kerja panjang namun berpenghasilan minim, serta sulitnya akses terhadap pendidikan berkualitas bagi kelompok kurang mampu, menunjukkan bahwa kesempatan untuk hidup layak belum terbagi secara adil. Situasi ini jelas bertentangan dengan semangat sila kelima yang menempatkan kesejahteraan sebagai hak bersama, bukan privilese segelintir orang.
Persoalan keadilan sosial juga tercermin dalam pelaksanaan kebijakan sosial. Berbagai program bantuan dirancang untuk menjangkau kelompok rentan, tetapi dalam praktiknya kerap menghadapi masalah tata kelola. Penyelewengan bantuan sosial, politisasi program kesejahteraan menjelang pemilu, hingga praktik korupsi mengindikasikan, persoalan utamanya bukan semata data yang tidak akurat, melainkan lemahnya integritas dan pengawasan. Ketika kebijakan sosial tunduk pada kepentingan politik dan ekonomi, keadilan sosial kehilangan makna substansialnya.
Wajah keadilan yang timpang juga tampak dalam penegakan hukum. Kasus-kasus kecil yang melibatkan rakyat biasa sering diproses cepat dan tegas, sementara perkara besar yang melibatkan aktor dengan kekuatan ekonomi atau politik kerap berlarut-larut tanpa kepastian. Realitas ini, yang berulang kali muncul di ruang publik, memperkuat persepsi bahwa hukum belum sepenuhnya berpijak pada prinsip kesetaraan. Ketika hukum tajam ke bawah namun tumpul ke atas, nilai keadilan sosial kembali terciderai.
Menjawab persoalan tersebut, diperlukan langkah konkret dan sistematis. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan kebijakan sosial melalui transparansi anggaran dan audit publik yang independen. Penyaluran bantuan harus berbasis data terbuka dan dapat diawasi masyarakat. Reformasi penegakan hukum juga mendesak dilakukan, termasuk penguatan lembaga peradilan serta perlindungan bagi aparat penegak hukum yang berintegritas. Di sisi lain, masyarakat sipil dan mahasiswa memiliki peran penting dalam mengawal kebijakan publik, melakukan advokasi, serta membangun pendidikan kritis tentang hak dan keadilan sosial.
Pada akhirnya, membaca ulang sila kelima Pancasila bukan sekadar refleksi ideologis, melainkan ajakan untuk bertindak. Keadilan sosial hanya akan terwujud jika negara bersedia diawasi dan masyarakat berani menuntut akuntabilitas. Sila kelima harus menjadi pijakan bagi keterlibatan aktif warga negara dalam melawan ketimpangan dan memperjuangkan kesejahteraan yang adil bagi seluruh rakyat Indonesia.
Alrend Charis Sihombing adalah mahasiswa Program Studi Psikologi Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA), Jakarta.