Bonarinews.com
Kehidupan sering kali menghadirkan luka. Kata-kata yang menyakitkan, perlakuan yang tidak adil, atau pengalaman pahit dari orang terdekat dapat meninggalkan jejak mendalam di hati. Jika tidak dilepaskan, luka itu berubah menjadi kepahitan. Inilah yang diingatkan Pdt. Benny Situmorang dalam khotbahnya yang diambil dari Efesus 4:31-32, kepada para pegawai (ASN dan non ASN) yang nasrani di Dishub Sumut, Jumat (3/10/2025).
“Kepahitan adalah racun. Ia merusak kerohanian, melemahkan semangat hidup, mengganggu pikiran, bahkan membuat tubuh sakit. Lebih berbahaya lagi, kepahitan menjadi pintu masuk bagi iblis untuk melemahkan kita dan menjauhkan kita dari Tuhan,” tegasnya.
Untuk memberi gambaran, ia menyinggung kisah Ahitofel, penasihat Raja Daud yang bijaksana. Namun karena menyimpan dendam, hidupnya berakhir tragis dengan bunuh diri. Dari kisah ini, Pdt. Benny menekankan bahwa sakit hati bisa menghancurkan siapa saja—tidak peduli tinggi rendahnya kedudukan.
Kepahitan, katanya, bukan hanya ada di kisah Alkitab, tetapi nyata hadir dalam kehidupan sehari-hari. Dalam rumah tangga, sering muncul dalam hubungan menantu dan mertua. Di tempat kerja, bisa lahir dari perasaan dibanding-bandingkan atau perlakuan kasar rekan dan atasan. Orang mungkin tersenyum di luar, tetapi menyimpan dendam di dalam hati. Lama-kelamaan, hal ini melahirkan pikiran negatif, semangat yang luntur, bahkan penyakit fisik.
Firman Tuhan sendiri menegaskan: buanglah segala kepahitan, kegeraman, pertikaian, dan fitnah. Mengampuni, kata Pdt. Benny, bukanlah pilihan—tetapi perintah. “Kalau kita tetap memelihara kepahitan, berarti kita sedang melakukan dosa, karena menolak perintah Tuhan.”
Ia mengingatkan pula bahwa perkataan punya kuasa besar. Kata-kata kasar, ejekan, atau ucapan sembrono bisa melukai dan menumbuhkan kepahitan. Karena itu, komunikasi harus dijaga dengan bijak dan penuh kasih.

Sebagai teladan, ia mengangkat kisah Yusuf yang meski dijual oleh saudara-saudaranya, memilih untuk mengampuni. Padahal Yusuf memiliki kuasa untuk membalas, tetapi ia menyerahkan segalanya kepada Tuhan. “Dari Yusuf kita belajar, pengampunan selalu membawa pemulihan dan damai sejahtera,” katanya.
Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa kepahitan bukan hanya merusak hubungan dengan sesama, tetapi juga kesehatan tubuh. Banyak orang jatuh sakit bukan karena fisik, melainkan karena hatinya dipenuhi iri, dendam, dan amarah. “Akhirnya hidup jadi tidak tenang, susah melihat orang lain bahagia, senang melihat orang lain susah,” ujarnya.
Karena itu, Pdt. Benny mengajak jemaat mendidik anak-anak sejak dini agar tidak tumbuh dalam kepahitan. Teguran dan disiplin boleh saja dilakukan, tetapi harus disertai kasih dan penjelasan yang membangun, bukan dengan kata-kata kasar yang melukai.
Di akhir khotbahnya, ia kembali mengajak jemaat untuk berani melepaskan pengampunan. “Memang tidak mudah, karena luka hati sering begitu dalam. Tetapi hanya dengan mengampuni, kita bisa mengalami sukacita sejati dan menikmati kasih Tuhan,” tuturnya.

Ia menutup dengan pesan sederhana namun penuh makna: “Jangan tambah beban hidup dengan menyimpan akar pahit. Biarlah Tuhan memulihkan hati kita, sehingga hidup kita berkenan di hadapan-Nya.” (Dedy Hu)