Koalisi Advokasi Gugat UU TNI ke Mahkamah Konstitusi, Soroti Pelanggaran Sipil dan Reformasi Militer

Bagikan Artikel

Bonarinews.com | Jakarta — Puluhan advokat dan pegiat hak asasi manusia yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Reformasi Sektor Keamanan mengajukan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI ke Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini diajukan atas nama delapan pemohon, terdiri dari lima organisasi advokasi HAM dan demokrasi serta tiga pemohon perseorangan yang aktif mengkritisi reformasi militer.

Tim Advokasi menyoroti sejumlah pasal bermasalah yang dinilai melemahkan prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan akuntabilitas TNI.

Pertama, Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 UU TNI memberikan kewenangan TNI untuk “membantu mengatasi pemogokan dan konflik komunal” dalam operasi militer selain perang. Tim Advokasi menilai ketentuan ini bertentangan dengan kebebasan sipil yang dijamin UUD 1945, serta membuka peluang penyalahgunaan kekuatan militer dalam urusan sipil. Selain itu, frasa tentang ancaman pertahanan siber dinilai multitafsir dan bisa menempatkan TNI dalam ranah keamanan sipil yang seharusnya ditangani aparat hukum.

Kedua, Pasal 7 ayat (4) mendelegasikan pelaksanaan operasi militer selain perang kepada Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah tanpa keterlibatan DPR. Hal ini dianggap menghapus fungsi pengawasan legislatif dan melemahkan mekanisme akuntabilitas sipil terhadap militer, bertentangan dengan prinsip demokrasi konstitusional.

Ketiga, Pasal 47 ayat (1) UU TNI memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil seperti di Kesekretariatan Presiden, BNN, dan Kejaksaan. Tim Advokasi menilai ini melanggar prinsip pemisahan fungsi sipil-militer, melemahkan profesionalisme militer, serta menandai kemunduran reformasi TNI pasca-reformasi 1998.

Keempat, Pasal 53 UU TNI memperpanjang usia pensiun perwira tinggi hingga 63 tahun dengan kemungkinan dua kali perpanjangan, yang dianggap menciptakan ketidakadilan struktural, menghambat regenerasi, dan menambah beban anggaran pertahanan tanpa memperkuat profesionalitas TNI.

Kelima, Pasal 74 UU TNI menunda penerapan Pasal 65 UU TNI terkait peradilan umum bagi prajurit, sehingga peradilan militer masih memiliki kewenangan absolut atas tindak pidana umum. Hal ini dinilai menimbulkan impunitas, melanggar prinsip equality before the law, dan menghambat reformasi total peradilan militer sesuai TAP MPR No. VII/MPR/2000.

Tim Advokasi menegaskan, keberadaan pasal-pasal bermasalah ini menunjukkan ketidakseriusan politik pemerintah dan DPR dalam melanjutkan agenda reformasi sektor keamanan, sekaligus memperkuat pengaruh militer di ranah sipil.

Koalisi pemohon terdiri dari Imparsial, YLBHI, KontraS, PBHI, Amnesty International Indonesia, ELSAM, HRWG, WALHI, SETARA Institute, Centra Initiative, ICJR, AJI Jakarta, LBH APIK, dan berbagai lembaga advokasi lain serta BEM SI.

Narahubung resmi Tim Advokasi:

  1. Ardi Manto Adiputra (Imparsial)
  2. Arif Maulana (YLBHI)
  3. Fadhil Alfathan (LBH Jakarta)
  4. Andrie Yunus (KontraS)

Permohonan ini menandai langkah penting masyarakat sipil untuk menegakkan prinsip supremasi sipil, demokrasi, dan profesionalisme TNI melalui mekanisme konstitusional di Mahkamah Konstitusi. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *