Kisah Penanganan Darurat Runtuhnya Musala Ponpes Al Khoziny

Bagikan Artikel

Bonarinews.com Sidoarjo — Senin sore, 29 September 2025, suara lantunan salat Ashar di Pondok Pesantren Al Khoziny mendadak terputus. Gedung musala empat lantai itu tiba-tiba ambruk. Dalam sekejap, dinding dan lantai yang dulu kokoh berubah menjadi tumpukan beton dingin. Ratusan santri yang sedang beribadah tertimbun, dan suasana berubah dari khusyuk menjadi jerit dan debu.

Tim dari BNPB dan Basarnas segera bergerak atas instruksi Presiden RI Prabowo Subianto. Mereka berpacu dengan waktu — mencari, mendengar, berharap. Operasi penyelamatan berlangsung tanpa henti. Di antara puing yang rapuh, tanda-tanda kehidupan masih terdengar. Jalur sempit digali dengan tangan, seperti lorong penyelamat menuju harapan.

Pada Rabu sore (1/10), doa banyak orang terjawab. Beberapa santri berhasil diselamatkan, meski dua lainnya gugur. Namun sehari setelahnya, keajaiban berhenti. Tak ada lagi suara, hanya langkah berat para penyelamat yang terus bekerja demi menunaikan tugas terakhir — menemukan semua yang tertinggal.

BNPB memastikan penanganan tidak berhenti di lokasi runtuhan. Di halaman RS Bhayangkara Surabaya, tenda-tenda dibangun bagi keluarga korban. Di sanalah duka berkumpul: ibu yang menatap layar evakuasi, ayah yang menggenggam daftar nama, saudara yang berdoa tanpa henti. Harapan dan keikhlasan menyatu dalam kesedihan.

Pada hari kesembilan, operasi dinyatakan selesai. 61 jenazah dan tujuh bagian tubuh berhasil ditemukan, lima santri berhasil diselamatkan. Puing-puing telah dibersihkan, menyisakan lahan kosong dan kenangan yang berat.

Dari tragedi ini, satu pesan tertinggal: kesiapsiagaan tidak dimulai saat bencana datang, melainkan saat kita bersiap sebelum segalanya runtuh. (Redaksi)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *