Kewajiban Campur Etanol pada BBM: Solusi Hijau atau Beban Baru bagi Rakyat?

Bagikan Artikel

Oleh: Joyce Arfista *)

Awal tahun 2024 lalu, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan kebijakan baru: mulai akhir tahun, bahan bakar seperti Pertalite dan Pertamax akan dicampur etanol hingga 10 persen, yang dikenal dengan program E10. Pertamina ditugaskan untuk menjalankannya, sementara BPH Migas berperan sebagai pengawas.

Tujuan kebijakan ini terdengar mulia—mengurangi impor bahan bakar, mendorong energi bersih, sekaligus mendukung ketahanan energi nasional. Etanol yang digunakan pun rencananya berasal dari bahan lokal seperti singkong dan tebu, dengan target produksi 1,3 juta kiloliter per tahun. Sekilas, ini tampak seperti langkah maju menuju “energi hijau”. Namun, di balik niat baik tersebut, muncul berbagai pertanyaan: apakah Indonesia benar-benar siap?

Di media sosial, keluhan mulai bermunculan. Banyak pengendara mengaku mesin kendaraan mereka bermasalah setelah memakai BBM campuran etanol. Masalah ini bukan hal sepele. Etanol bersifat higroskopis, mudah menyerap air dan bisa menyebabkan karat atau korosi pada tangki serta saluran bahan bakar, terutama di kendaraan lama. Studi dari Society of Indian Automobile Manufacturers tahun 2023 bahkan menyebut penggunaan E10 pada mesin lawas bisa meningkatkan risiko kerusakan injektor hingga 40 persen. Brazil, negara yang dulu menjadi contoh penerapan E10, juga sempat mengalami banyak kerusakan kendaraan di awal programnya.

Artinya, tanpa uji coba luas dan kesiapan teknis, kebijakan ini bisa berujung pada kerugian masyarakat—biaya servis meningkat, performa kendaraan menurun, bahkan keselamatan berkendara bisa terancam.

Masalah lain adalah ketersediaan etanol itu sendiri. Data ESDM menunjukkan produksi nasional baru sekitar 200 ribu kiloliter per tahun, jauh dari target 1 juta kiloliter yang dibutuhkan untuk mendukung E10. Jika demikian, Indonesia justru berpotensi mengimpor etanol dari negara lain seperti Thailand atau India. Ironis, karena program yang dimaksudkan untuk mengurangi impor BBM malah bisa membuka pintu impor baru.

Dampaknya tak berhenti di situ. Kebutuhan bahan baku etanol seperti singkong dan tebu bisa memicu persaingan lahan antara pangan dan energi. Jika banyak lahan pertanian beralih fungsi menjadi ladang energi, bukan tak mungkin harga pangan seperti singkong, gula, bahkan beras ikut melambung. Bukankah ini bisa menjadi “krisis kecil” baru di meja makan rakyat?

Selain itu, membangun pabrik etanol, tangki penyimpanan khusus, dan memperbarui sistem distribusi BBM membutuhkan biaya besar. Menurut riset Institute for Essential Services Reform (IESR, 2023), investasi awal program E10 diperkirakan mencapai Rp15 triliun. Pertanyaan sederhana pun muncul: siapa yang akan membayar biaya sebesar itu? Jika ditanggung pemerintah, berarti anggaran negara makin terbebani. Tapi jika dibebankan ke masyarakat, bukan tak mungkin harga BBM naik—dan lagi-lagi rakyat kecil yang paling merasakan dampaknya.

Oleh karena itu, sebelum kebijakan ini diterapkan secara nasional, pemerintah sebaiknya melakukan uji coba terbatas di beberapa daerah terlebih dahulu. Ini penting untuk memastikan kualitas etanol, kesiapan kendaraan, dan infrastruktur distribusi. Jangan sampai semangat menuju energi hijau hanya berhenti pada slogan tanpa kesiapan nyata di lapangan.

Selain itu, pemerintah perlu serius memperkuat produksi etanol dalam negeri. Tanpa kemandirian produksi, kebijakan ini hanya akan memindahkan ketergantungan energi—dari minyak ke bahan baku luar negeri.

Transisi energi memang penting. Dunia sedang bergerak ke arah sana, dan Indonesia tak boleh tertinggal. Tapi kebijakan energi juga harus adil dan berpihak pada rakyat. Jangan sampai rakyat menjadi “kelinci percobaan” dari kebijakan yang belum matang. Energi hijau seharusnya membawa manfaat, bukan menambah beban.

Karena pada akhirnya, energi bersih yang sejati bukan hanya tentang mengurangi polusi, tapi juga tentang memastikan kehidupan masyarakat tetap layak dan berkeadilan.

*) Penulis adalah Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia (UKRIDA) Jakarta, Program Studi Psikologi.

One thought on “Kewajiban Campur Etanol pada BBM: Solusi Hijau atau Beban Baru bagi Rakyat?

  1. Saya sdh merasakan dampak dari penambahan etanol…. motor saya jadi rusak mogok sampai ganti rotak + filter bensin Di tambah ongkos service dan pasang rakyat kecil saya ini kerja gojek gini yg merasakan dampaknya….. pemerintah tdk memikirkan gimana akibat untuk driver gojek

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *