Ketika Restorative Justice Disalahgunakan: Keadilan yang Tak Lagi Netral

Bagikan Artikel

Oleh Josephine Christiana

Kasus penganiayaan berat yang dilakukan Mario Dandy Satriyo terhadap Cristalino David Ozora pernah menjadi salah satu peristiwa paling menghebohkan di Indonesia. Aksi kekerasan yang terekam dan tersebar luas itu bukan hanya memancing kemarahan publik, tapi juga membuka mata banyak orang tentang betapa timpangnya hukum di negeri ini. Di hadapan rakyat kecil, hukum bisa sangat tajam. Namun ketika menyentuh orang-orang berduit atau berkuasa, ketajamannya mendadak tumpul. Dalam berbagai kasus, keadilan bahkan terasa seperti sesuatu yang bisa dinegosiasikan—atau dibeli.

Fenomena ini makin rumit ketika konsep Restorative Justice (RJ) kerap dijadikan alasan untuk “mendamaikan” kasus berat. Padahal, secara ideal RJ dirancang untuk memulihkan hubungan antara pelaku dan korban pada kasus ringan, seperti pertikaian kecil atau kesalahpahaman sosial—bukan untuk kejahatan serius. Sayangnya, di Indonesia, konsep ini sering diselewengkan menjadi alat kompromi yang justru melindungi pihak berpengaruh. Akibatnya, nilai kemanusiaan dan keadilan yang seharusnya menjadi inti RJ justru hilang.

Pertama, Restorative Justice disalahgunakan sebagai jalan pintas untuk menghindari hukuman. Dalam sejumlah kasus berat seperti penganiayaan, kekerasan seksual, hingga korupsi, konsep “damai” digunakan sebagai tameng agar proses hukum bisa dihentikan. Ketika pelaku yang punya uang bisa menebus kesalahan dengan nominal tertentu, maka hukum kehilangan wibawanya sebagai penegak moral publik. Dalam kasus Mario Dandy misalnya, meski tak secara resmi memakai jalur RJ, publik khawatir narasi “isu pribadi” dan upaya perdamaian menjadi sinyal lunaknya sikap hukum terhadap pelaku yang punya pengaruh.

Kedua, penerapan RJ memperlihatkan ketimpangan sosial yang mencolok. Mereka yang punya kekuatan finansial bisa dengan mudah “berdamai” dengan korban, sementara rakyat kecil tetap harus menanggung proses panjang, biaya besar, dan risiko dipersulit. Hukum yang seharusnya netral, akhirnya tampak berpihak pada mereka yang mampu membeli keadilan. Ketika uang menjadi pengganti hukuman, keadilan pun berubah dari hak warga negara menjadi barang mewah.

Ketiga, penyalahgunaan RJ justru memperdalam luka korban dan mengikis kepercayaan publik terhadap hukum. Bagi korban, kata “damai” tidak serta merta berarti sembuh. Luka fisik dan trauma psikologis tidak bisa disembuhkan dengan uang atau maaf. Dalam kasus David Ozora, korban bukan hanya kehilangan kesehatan, tapi juga rasa aman dan harga diri. Saat masyarakat melihat pelaku tersenyum di ruang sidang atau mendapat perlakuan istimewa, kepercayaan pada sistem hukum pun terkikis. Akhirnya, hukum yang seharusnya melindungi malah terasa mengkhianati rasa keadilan.

Karena itu, pemerintah dan aparat hukum harus menegaskan batas tegas dalam penerapan RJ. Restorative Justice hanya pantas diterapkan pada kasus ringan yang tidak menimbulkan luka fisik atau trauma berat. Setiap bentuk perdamaian yang bernuansa transaksional harus ditolak, karena mengaburkan fungsi hukum itu sendiri.

Di sisi lain, masyarakat perlu diberikan edukasi hukum agar paham hak-haknya dan tidak mudah ditekan oleh pihak yang lebih kuat. Media serta lembaga sosial juga perlu mengawasi agar RJ tidak keluar dari jalur moral dan kemanusiaan.

Restorative Justice sejatinya adalah gagasan luhur yang menempatkan kemanusiaan di atas hukuman. Tapi ketika diselewengkan, ia justru menjadi wajah baru dari ketidakadilan. Kasus Mario Dandy menjadi pengingat bahwa hukum tanpa integritas mudah dibelokkan oleh kekuasaan.

Bukan konsep RJ yang salah, melainkan cara penerapannya yang kehilangan arah. Keadilan sejati hanya bisa lahir bila hukum berdiri tegak tanpa pandang status dan kekayaan. Selama hukum masih bisa dinegosiasikan, keadilan akan tetap menjadi mimpi mahal bagi rakyat kecil. (*)

Penulis adalah Mahasiswa UKRIDA Jakarta, Program Studi Psikologi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *