Ketika Pemimpin Belajar Mengelola Emosi

Bagikan Artikel

Oleh Mardi Panjaitan

Ada satu pelajaran berharga yang saya dapatkan dari pembekalan Kepala Sekolah Transformatif bersama Dr. Salamiah Sari Dewi, S.Psi., M.Psi. Pertemuan itu membuat saya melihat bahwa menjadi pemimpin bukan hanya soal membuat program, memimpin rapat, atau menegakkan aturan. Ada sesuatu yang lebih mendasar dan sering kita abaikan tanpa sadar, yaitu kemampuan mengelola emosi diri sendiri.

Di sekolah, pemimpin biasanya sibuk mengurus seribu hal: data, surat, kegiatan, guru, siswa, hingga keluhan orang tua. Semua itu menyita waktu dan pikiran. Namun hampir tidak pernah kita berhenti sejenak dan bertanya pada diri sendiri:

Bagaimana kondisi emosiku hari ini?

Pertanyaan sederhana, tetapi sering terlupakan.

Emosi adalah Pesan, Bukan Penghalang

Selama ini banyak orang menganggap emosi sebagai sesuatu yang harus ditahan—apalagi jika kita pemimpin. Padahal, menurut Bu Salamiah, emosi adalah sinyal. Ia membawa pesan penting yang membantu kita memahami apa yang sedang terjadi di dalam diri kita.

Misalnya:

  • Sedih muncul ketika kita kehilangan sesuatu yang berarti
  • Takut datang untuk mengingatkan kita terhadap bahaya
  • Marah timbul ketika nilai atau batas diri kita dilanggar
  • Bahagia memberi dorongan untuk bergerak lebih maju

Artinya, emosi itu normal dan manusiawi. Yang penting bukan melarang diri untuk marah atau takut, tetapi bagaimana kita mengekspresikannya. Karena sering kali bukan emosinya yang menimbulkan masalah, melainkan cara kita bereaksi.

Mengelola Emosi adalah Kemampuan Penting Pemimpin

Sebagai kepala sekolah atau pemimpin di tempat mana pun, kita bukan hanya mengelola sistem. Kita berhubungan dengan manusia—yang juga punya perasaan, pengalaman, dan latar belakang berbeda. Karena itu, kemampuan mengelola emosi sangat dibutuhkan agar kita bisa memimpin dengan bijak.

Ada empat kemampuan dasar yang harus dipelajari:

  1. Mengenali emosi yang muncul
  2. Menerima emosi tanpa menghakimi diri sendiri
  3. Mengatur reaksi dengan cara sehat
  4. Mengekspresikan emosi dengan tepat

Pemimpin yang mampu mengelola emosinya biasanya lebih tenang dalam mengambil keputusan dan lebih mudah membangun kepercayaan.

Teknik Sederhana yang Bisa Dipraktikkan

Bu Salamiah juga membagikan beberapa cara praktis yang bisa langsung dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Teknik ini sederhana, tetapi dampaknya besar jika dilakukan secara konsisten.

Pertama, pause 10 detik, terutama saat emosi memuncak. Hanya berhenti sebentar, tarik napas, dan menunda respons bisa menyelamatkan kita dari ucapan atau keputusan yang disesali.

Kedua, bedakan fakta dari tafsir. Banyak kemarahan muncul dari asumsi, bukan kenyataan. Misalnya, seorang guru terlambat rapat. Fakta hanya “guru terlambat”. Tafsir bahwa “guru tidak menghargai pimpinan” belum tentu benar.

Ketiga, menyebutkan nama emosi. Mengakui dalam hati “saya sedang marah” justru membantu menenangkan diri. Ini disebut “name it to tame it”.

Keempat, bersikap asertif, yaitu tegas namun tetap menghargai orang lain. Tidak meledak, tetapi juga tidak memendam.

Kelima, mengenali pemicu emosi. Setiap orang punya titik sensitif. Dengan mengetahuinya, kita bisa lebih siap mengatur reaksi ketika situasi itu muncul.

Pemimpin yang Tenang Menciptakan Lingkungan yang Aman

Dari sesi itu saya menyadari bahwa pemimpin adalah penentu iklim emosional dalam sebuah organisasi. Jika pemimpin gelisah, tim ikut tegang. Jika pemimpin mudah marah, orang-orang menjadi takut. Sebaliknya, pemimpin yang tenang dan dewasa membuat lingkungan kerja terasa nyaman dan aman.

Pemimpin yang mampu mengelola emosinya biasanya:

  • Lebih dihormati
  • Lebih dipercaya
  • Lebih mudah didengar
  • Lebih bijak dalam mengambil keputusan

Inilah pemimpin yang tidak hanya memerintah, tetapi juga menginspirasi.

Refleksi Kecil untuk Diri Sendiri

Di akhir sesi, kami diajak merenung:

  • Kapan terakhir saya mengambil keputusan dengan kepala dingin?
  • Masalah apa yang mereda karena saya menahan diri 10 detik sebelum bicara?
  • Hubungan mana yang membaik karena saya belajar lebih asertif?

Pertanyaan sederhana ini membuat saya sadar bahwa setiap perkembangan dalam kecerdasan emosi berawal dari langkah kecil namun konsisten.

Penutup: Emosi adalah Seni yang Perlu Dilatih

Mengelola emosi bukan berarti menjadi robot tanpa perasaan. Justru sebaliknya—kita belajar memahami diri lebih dalam. Ketika pemimpin mampu mengendalikan emosinya, ia bukan hanya menyelesaikan masalah, tetapi juga menciptakan ruang yang aman untuk orang lain berkembang.

Pesan yang saya bawa pulang dari pembekalan ini sederhana namun kuat:

Menjadi pemimpin tidak hanya soal kemampuan memimpin orang, tetapi juga memimpin diri sendiri. Dan ketika pemimpin mampu menata emosinya, ia akan memenangkan bukan hanya rapat atau program—tetapi juga hati orang-orang yang dipimpinnya.

One thought on “Ketika Pemimpin Belajar Mengelola Emosi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *