Bonarinews.com — Di tengah gelapnya malam dan kabar yang simpang-siur, Ebyn Hutauruk melangkah sendirian di jalanan yang kini berubah menjadi jalur bencana. Ia berjalan puluhan kilometer dari Tarutung menuju Tukka, Tapanuli Tengah—melewati tebing longsor, jalan yang terbelah, dan aliran air yang masih deras membawa sisa-sisa pemukiman warga.
Ia bukan petualang. Ia seorang ayah yang panik bukan main.
Bencana banjir bandang dan longsor pada Senin itu tidak hanya meruntuhkan rumah-rumah dan akses jalan. Ia juga memutus seluruh jaringan komunikasi. Listrik padam. Air mati. Sinyal hilang total. Dalam sekejap, Tapanuli Tengah terputus dari dunia.
Dan di desa Tukka—salah satu titik terparah—tinggal istri Ebyn, Boru Sibuea dan anaknnya yang masih balita.
Tak ada kabar. Tak ada pesan. Tak ada tanda apakah mereka selamat atau jauh dari bencana itu. Dalam kecemasan yang tak tertahankan, Ebyn memutuskan satu-satunya cara: berjalan kaki menembus wilayah bencana. Setiap langkah adalah pertaruhan hidup. Setiap tikungan adalah kemungkinan buruk yang tak ia sanggup bayangkan.
Di tengah perjalanan, tatkala tungkai kakinya mulai lelah, secara tak sengaja ia bertemu Bupati Tapanuli Tengah, Masinton Pasaribu yang juga sedang meninjau titik bencana. Di sana, bawah rintik hujan yang tak kunjung berhenti, Ebyn menangis tersedu-sedu. Seorang ayah yang kehilangan arah, memohon kabar tentang keluarganya.
Namun Ebyn bukan satu-satunya. Juni, seorang perempuan muda asal Sibolga, meraung cemas menunggu kabar ibunya yang sakit-sakitan. Sejak bencana melanda, ponsel ibunya tak bisa dihubungi. Jaringan mati. Dari jantung kota Jakarta, ia hanya bisa duduk menatap layar ponsel yang tak kunjung memunculkan sinyal, berharap keajaiban terjadi.
Sondang, perempuan muda yang tinggal di Deli Serdang, mengalami malam-malam tanpa tidur. Bukan hanya karena rumahnya sendiri terendam pada Kamis (27/11/2025) malam setelah hujan deras mengguyur Medan, Langkat, dan Deli Serdang hingga puluhan ribu rumah tenggelam. Tetapi karena ayah dan ibunya sedang melayat ke Pakkat, Humbang Hasundutan—dan sejak Senin tak ada kabar sama sekali. Adik dan keponakannya yang baru berusia tiga bulan ikut serta.
Empat hari tanpa kabar. Empat hari membayangkan kemungkinan terburuk. “Kekmana ya kabar bapak mama… juga adik dan keponakan kita…” ujarnya lirih, berkali-kali, sebelum akhirnya menangis.
Dunia seolah benar-benar terputus. Tak ada telepon. Tak ada internet. Tak ada pesan sekecil apa pun untuk memastikan bahwa orang-orang yang paling kita sayangi masih bernapas.
Di posko darurat, ratusan warga harus berbagi tempat, berbagi makanan, berbagi cerita dan saling menguatkan.
Ketika keputusasaan hampir memuncak, pada hari kelima muncul secercah harapan.
Bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Polda Sumut datang sebagai tim pertama yang berhasil membuka kembali jaringan komunikasi di Tapanuli Tengah. Mereka membawa 60 HT Harris, mobil repeater, mobil komob, drone pemetaan, dan—yang paling ditunggu—lima unit Starlink beserta baterai cadangannya.
Begitu perangkat Starlink dinyalakan, internet kembali hidup—meski hanya di satu titik darurat.
Namun itu lebih dari cukup untuk membuat puluhan warga berlari, berkumpul, memadati area layanan darurat.
Beberapa hanya berdiri terpaku, menggenggam ponsel gemetar. Yang lain langsung menangis sebelum sempat menekan tombol telepon. Mereka sudah terlalu lama menunggu kabar.
Karena banyak ponsel hilang digulung banjir, personel polisi meminjamkan ponsel pribadi mereka.
“Terima kasih, Pak… keluarga saya nggak tahu bagaimana keadaan kami di sini…” seorang ibu menangis histeris saat akhirnya bisa berbicara dengan anaknya di luar kota.
Di sekelilingnya, tangis serupa pecah berulang-ulang. Sinyal yang kembali itu bukan sekadar teknologi—itu adalah harapan, kelegaan, dan kehidupan.
Di jalur-jalur yang masih terisolir, drone milik TIK Polda Sumut memetakan lokasi korban. Mobil repeater memperluas jangkauan komunikasi tim SAR. Informasi bantuan, evakuasi, dan kondisi medan kini mengalir lagi.
Sementara itu, di Pakkat, telepon Sondang berdering. Orangtuanya menelepon: mereka selamat. Tertahan karena jalan terputus, tetapi hidup. Sondang menangis sejadi-jadinya—tetapi kali ini karena lega.
Bencana ini mematahkan banyak hal—jalan, rumah, jembatan, jaringan komunikasi. Tapi satu hal tidak boleh patah: harapan.
Dan harapan itu kadang hadir dari langkah kaki seorang ayah yang tidak menyerah, dari air mata warga yang akhirnya bisa memberi kabar selamat, dari petugas yang menghidupkan kembali jaringan di tengah reruntuhan,
atau sekadar dari seseorang yang masih setia menunggu kabar dengan doa tanpa henti.
Ketika dunia terlihat gelap, selalu ada seseorang—entah itu ayah, ibu, relawan, polisi, tetangga, atau bahkan orang asing—yang tetap menyalakan cahaya.
Karena dalam setiap bencana, yang paling kuat bukanlah badai, melainkan manusia yang saling menguatkan satu sama lain. (Redaksi)